Detikkasus.com | Oleh : Aspihani Ideris, S.A.P., S.H., M.H. (Ketua Hukum dan Advokasi Ikatan Wartawan Online Kalimantan Selatan)
MEDIA PUBLIK. Sudah berjalan 19 tahun Undang-Undang Pers Nomor 40 tahun 1999 lahir di negeri Indonesia ini, namun sepertinya kebebasan pers dalam menjalankan tugas dan fungsinya seperti yang diamanatkan didalamnya tersebut masih adanya pengekangan oleh Dewan Pers sendiri. Sehingga Dewan Pers dianggap sebagai Penghianat insan pers sendiri.
Sebagaimana di ketahui, Dewan Pers itu merupakan sebuah lembaga independen di Indonesia yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. Namun fakta dilapangan yang terjadi saat ini, Dewan Pers bagaikan binatang buas yang siap menerkam mangsanya. Seperti halnya ada beberapa jurnalis yang berhasil dipidanakan hanya saja dikarenakan sebuah rekomendasi yang di keluarkan Dewan Pers.
Seperti halnya saudara kami wartawan online Muhammad Yusuf dari Kotabaru, Kalimantan Selatan. Ia dipenjarakan dikarenakan adanya sebuah rekomendasi yang dikeluarkan oleh Dewan Pers sendiri yang pada akhirnya meninggal dunia pada Minggu, 10 Juni 2018. Ia dipenjarakan disebabkan dengan tulisannya di media www.kemajuanrakyat.co.id, www.berantasnews.com, dan Sinar Pagi Baru dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan dugaan pencemaran nama baik
Muhammad Yusuf ini dipenjarakan karena adanya aduan kepolisi oleh pihak perusahaan sawit PT Multi Sarana Agro Mandiri (MSAM) sebuah perusahaan milik Andi Syamsuddin alias Haji Isam atas beberapa beritanya yang dimuat di www.kemajuanrakyat.co.id dan www.berantasnews.com dengan tudingan mencemarkan nama baiknya. Berita yang dipersoalkan antara lain artikel Muhammad Yusuf yang menuduh PT MSAM mencaplok lahan warga.
Polisi lantas mengirim surat permintaan kepada Dewan Pers pada 28 Maret 2018 untuk mengirim ahli soal ini. Polisi juga mengirim penyidik ke kantor Dewan Pers pada 29 Maret 2018. Dan juga Polisi menanyakan pandangan ahli dari Dewan Pers soal beberapa berita yang dibuat oleh Muhammad Yusuf. Sehingga pada akhirnya, atas rekomendasi Dewan Pers, polisi menangkap Muhammad Yusuf dengan tuduhan telah melanggar Undang Undang Nomor 11 Tahun 2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Oleh karena sikap Dewan Pers tersebut membuat sebagian besar insan pers di nusantara memprotes atas kebijakan dan regulasi yang dibuat oleh Dewan Pers. Protes tersebut kian hari kian deras mengalir dari berbagai penjuru tanah air. Gerakan protes itu makin memuncak akibat maraknya tindakan kriminalisasi terhadap pers di berbagai daerah namun Dewan Pers terlihat diam saja seribu bahasa, bahkan terkesan ikut mendorong agar para jurnalis yang kritis membongkar fakta kejahatan malahan dipenjarakan.
Pandangan kita para Dewan Pers yang ada saat ini tidak dewasa dalam mengambil sebuah langkah, padahal kita ketahui Dewan Pers itu berdiri sejak tahun 1966 melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan pokok pers, walau pada saat itu Dewan Pers hanya berfungsi sebagai Penasehat Pemerintah dan memiliki hubungan secara struktural dengan Departemen Penerangan. Namu seiring berjalannya waktu Dewan Pers terus berkembang dan pada akhirnya memiliki dasar hukum terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Nah, sejak saat itu, Dewan Pers menjadi sebuah lembaga independen dan mengayomi serta melindungi insan pers yang berperkara hukum. Selain itupula pembentukan Dewan Pers dimaksudkan untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM), karena kemerdekaan pers termasuk sebagai bagian dari HAM. Dewan Pers memiliki wewenang untuk menyelesaikan sengketa jurnalistik. Sebagai lembaga independen, oleh karena itulah Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada jajaran anggotanya.
Dewan pers yang merupakan representasi para insan pers dalam menjaga, mengawal dan melindungi aktivitas para jurnalis sekarang ini sepertinya telah berubah dan melenceng dari cita-cita amanat reformasi. Bahkan Dewan Pers tersebut dituding berubah menjadi seorang pembunuh. Mengapa demikian, buktinya Muhammad Yusuf meninggal dunia hanya karena akibat rekomendasi Dewan Pers sendiri.
Kepecayaan dan harapan yang diserahkan para insan pers sendiri kepada pangkuan Dewan Pers sebagai wakil insan pers dengan masyarakat dan pemerintah dalam menjembatani permasalah pers akhirnya sirna bagai debu yang terhembus angin. Hingga akhirnya kesabaran insan pers tersebut sirna sama sekali dan hari ini Selasa, 4 Juli 2018 membuat Ratusan wartawan dari berbagai penjuru di nusantara melakukan aksi demo ke gedung Dewan Pers sendiri dengan harapan Dewan Pers di “BUBARKAN”.
Dalam orasi kalangan insan pers didepan kantor Dewan Pers hari ini, Rabu (4/7/2018), banyak tudingan anggota dewan pers juga di duga melakukan korupsi. Dan juga Dewan Pers diduga merupakan sebuah tempat bercokolnya para oportunisme. Bahkan Dewan Pers dan Yayasan Pengelola Gedung Dewan Pers diibaratkan bagaikan segerombolan perampok yang bernaung di balik baju pers itu sendiri dan bahkan juga dalam orasi berbagai kalangan insan pers, Dewan Pers bisa juga dicap sebagai pembunuh kaum jurnalis reformis.
Dalam data yang dapat dihimpun, ternyata gedung Dewan Pers tempat bercokolnya para anggota Dewan Pers itu sendiri merupakan gedung yang dibangun atas sumbangan dari asosiasi importir film mandarin. Gedung tersebut diserahkan oleh ketuanya saat itu bernama Sudwikatmono dan diterima oleh Ali Moertopo yang merupakan Menteri Penerangan pada saat itu. Serah terima gedung Dewan Pers terjadi pada 1 Maret 1982. Dan penggunaannya diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto pada 1 Maret 1982. Gedung tersebut diberikan untuk tujuan guna menunjang kegiatan pers Indonesia.
Seiring bergulirnya Reformasi tahun 1998, telah merubah peran dewan pers yang pada saat itu sebagai corong pemerintah, menjadi Independen. Setelah Dewan Pers Independen di sahkan pada tahun 2000, dalam perjalanan selanjutnya telah terjadi dugaan tundak pidana Korupsi, dan Rekayasa oleh oknum Dewan Pers. Informasi yang didapatkan, dugaan Korupsinya dengan cara menyalah gunakan jabatan untuk mendapatkan dana dari pemerintah. Dewan Pers melakukan merekayasa dengan cara memanfaatkan organisasi wartawan guna mendukung kegiatan Dewan Pers. Setelah mendapatkan dana maka organisasi pers yang mendukungnyapun ditinggalkan bagaikan mendorong mobil mogok. (Ilyas)