Pekanbaru | Detikkasus.com -, Amanat Undang-undang dasar Dasar (UUD) 1945 NKRI sudahkah kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bagi warganegara kita dapat dirasakan selama ini ? Terutama yang miskin ? dilaksanakan oleh negara selama ini ? Negara wajib hadir menjalankan amanat UUD 1945 demi membela warganegaranya. Terutama untuk kesehatan warganegaranya. Karena dalam tubuh yang sehat terdapat badan pemikiran sehat pula. Jika sehat, negara kita kuat dan tetap bersatu dalam naungan NKRI.
Nah, dalam bidang kesehatan selama ini warganegara Indonesia kelas menengah kebawah sering mengeluh membayar uang iuran BPJS Kesehatan. Pasalnya menambah beban biaya kehidupan rumah tangga mereka. Seharusnya negara hadir untuk warganegaranya. Coba fikir ada berapa warganegara Indonesia yang hidup serba mewah yang disebut kelas atas.
Inilah keluhan warganegara kita pada umumnya yang hidup kelas menengah kebawah. Seperti diutarakan melalui LSM Gerekan Pemuda Anti Korupsi (GPAK).
Kepala.Devisi Pembangunan LSM GPAK, B. Salim meminta kepada Pemerintah untuk membubarkan BPJS Kesehatan, karna yang merasakan langsung akibat adanya iuran tiap bulan menambah beratnya beban hidup adalah warganegara kelas menengah kebawah.
Mereka hidup di negara sendiri terasa berat beban hidup ini karna harus membayar iuran dana ke BPJS tiap bulannya.
Terkadang mereka untuk makan dan membiayai sekolah anak-anak mereka aja susah. Kini ditambah lagi beban iuran BPJS setiap bulannya.
Negara harus hadir di tengah kemiskinan beratnya beban hidup warganegaranya, bukan justru menambah beban kehidupan mereka.
Jika kini beban kehidupan bertambah berat karna harus membayar iuran ke BPJS Kesebatan tiap bulannya, namun dulu malah warganegaranya malah terasa terbantu oleh pemerintah.
Dulu kita menikmati rasa kehadiran negara apabila warganegaranya sakit bila masuk Puskesmas dan masuk rumah sakit, namun kini negara gara seolah-olah negara kurang hadir dalam membela warganegaranya bila masuk Puskesmas dan rumah sakit.
Lihatlah kata B. Salim, dulunya pemerintah menganggarkan dana Jamkesmas dan Jamkesda di APBD dan APBN, namun kini tinggal kenangan.
Bila dulu warganegara bisa mengurus surat keterangan tidak mampu dan memiliki kartu Jamkesda dan Jamkesmas yang digunakan bila berobat ke Puskesmas dan rumah sakit.
Kini, warganegara salim lalu menunggak membayar bulanan ke BPJS. Jika menunggak, maka bila berobat menggunakan BPJS maka iuran ke BPJS harus terlebih dahulu melunasinya.
Depisit dana BPJS jangan jadi alasan mereka miminta dana dari pemerintah yang nilainya pantastis. Lebih baik dana itu digunakan kembali kecara membela warganegaranya.
B. Salim mendesak pemerintah, daripada membantu BPJS untuk menutupi depisit keuangan mereka, kan lebih baik dana itu dianggarkan untuk membantu warganegaranya kesusahan untuk berobat. Bantuan itu bisa melalui cara dulunya. Pemerintah segera kembali menganggarkan dana berobat warganegaranya dengan menganggarkan dana Jamkesmas dan Jamkesda dalam APBN dan APBD.
Ia berfikir, bagaimana caranya negara bisa menyelidiki penyebab depisit dana BPJS tersebut. Karna warganegaranya yang langsung merasakan, apalagi jika masuk Puskesmas dan rumah sakit.
Bagaimana tidak katanya, diduga ada rumah sakit di negara ini seperti di Riau. Namun ia keberatan menyebutka rumah sakit mana. Pasien dirawat di salahsatu rumah sakit katanya. Pasien tersebut baru saja masuk, kemudian habis air ipusnya satu botol. Kemudia diganti botol inpus kedua, namun ada keluarga pasien sebelahnya melihat ada tulisan di botol inpusnya bertuliskan angka 6. Mereka terkejut, lalu memberi tahu kelada keluarga pasien tersebut. ” Mengapa ditulis angka 6 di botol inpus bapaktu, kan baru dua botol dan bapak itu baru masuk rumah sakit ini dirawat,” paparnya seperti meniru ucapan orang tadi.
Kemudian katanya, disaat perawat masuk mengganti inpus ketiga, sipasien menanyakan kepada perawat, tulisan angka 6 di botol inpus itu tanda apa ditanya kepada perawat tadi. Mereka mudian perawat inie jelaskan bahwa angka 6 itu adalah jumlah pemakian berapa botol inpus yang dipakai.
Alangkah terkejutnya sipasien tadi, maka terjadilah pertengkaran, hal serupa ini bukan hanya terjadi pada pasien BPJS Kesehatan tadi. Namun pernah juga terjadi pada pasien umum di salah satu rumah sakit.
Di sisi lain, ketika pasien tadi mau pulang katanya, pasien tadi kembali terkejut, pasalnya ia diberi obat murahan untuk bekal makan obat di rumah. Ia diberi obat gula/diabetes metpormen yang harga di apotik hanya Rp3000 satu saset isi 10 butir, padahal sipasien adalah BPJS kelas pertama.
Lalu ia mau pulang masih berada di konter rumah sakit tadi tempat perawat menyerahkan obat tadi, lama ia menunggu untuk melibat berapa jumlah dana dan apa saja yang diklem rumah sakit ke BPJS Kesehatan, namun ia tidak dapat melihatnya berapa karena perawat tadi ke beratan.
Nah kata B. Salim apakah ini menjadi salah satu menjadi depisit dana BPJS Kesehatan, “pemerintah harus membubarkan BPJS, karana daripada mendanai BPJS Kesehatan kan lebih baikembantu warganegaranya melalui anggaran dana Jamkemas dan Jamkesda. Jadi warganegara ini merasa tidak tersakiti karna kewajiban membayar BPJS Kesehatan tiap bulannya,” tegasnya.
Nantinya warganegara jadi bertambah sulit dalam beban hidup keseharian katanya. Pasalnya, IDI berencana mengusulkan ke pemerintah untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan tial bulannya, “pemerintah jangan hanya membela untuk kelompok tertentu bila menaikan iuran tiap bulan ke BPJS, lebih membela warganegaranya alabila dana yang dianggarkan ke BPJS Kesehatan untuk Jamkesmas dan Jamkesda, jadi warganegaranya kehidupan terasa terbantu lebih manusiawi dengan tidak membayar iuran tiap bulan ke BPJS Kesehatan. Dan mereka merasa terbantu oleh lemerintah melalui anggaran Jamkesmas dan Jamkesda melalui APBN dan APBD,” desaknya mengakhiri (Harmaein)