Artikel l Detikkasus.com – PT. Garuda Indonesia, Maskapai penerbangan nasional Indonesia yang dikabarkan mengalami kebangkrutan menjadi perhatian di kalangan masyarakat. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara, Kartika Wirjoatmodjo mengungkapkan bahwa secara teknis perusahaan Garuda Indonesia dalam kondisi bangkrut namun belum secara legal.
“Sebenarnya kalau dalam kondisi saat ini, kalau dalam istilah perbankan ini technically bangkrut, tapi legally belum. Sekarang kami sedang berusaha untuk keluar dari kondisi ini yang technically bangkrupt” kata Wamen BUMN Kartika.
Diungkapkan bahwa aset perusahaan bernilai $6,93 miliar, sementara liabilitasnya mencapai $9,75. Dengan angka ekuitas negatif $2,8 miliar, Garuda menjadi BUMN dengan sejarah paling buruk yang sebelumnya dipegang oleh PT. Asuransi Jiwasraya.
Berarti perusahaan mempunyai jumlah liabilitas yang lebih besar dibandingkan asetnya.
Liabilitas Garuda Indonesia tercatat di dominasi dari utang kepada lessor yang nilainya mencapai $6,35 miliar.
Perusahaan juga memiliki utang di Bank sekitar $967 juta dan utang dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA sebesar $630 juta.
Total liabilitas perusahaan yang sangat besar turut disebabkan kebijakan pencacatan dalam laporan keuangan.
“ini yang menjadi satu situasi yang sulit karena di satu sisi garuda memang mempunyai constructure yang tinggi, utangnya tinggi dan revenue basenya tergerus signifikan karena pandemi COVID-19.
Jadi saya sering ditanya, Garuda ini kinerjanya turun karena apa? Apakah karena korupsi atau karena COVID-19? Ya dua-duanya memang menjadi penyebab yang bersama-sama membuat kondisi garuda saat ini tidak baik”, kata Wamen BUMN Kartika.
Pada tahun 2019, Garuda memperoleh keuntungan yang cukup besar dari rute penerbangan domestik sebesar $240 juta per bulan.
Namun, sama halnya dengan maskapai penerbangan lainnya, pandemi Covid-19 memperburuk kondisi perusahaan sehingga keuntungan yang diperoleh turun secara signifikan.
Meski situasi ini cukup sulit, kementerian BUMN melakukan beberapa langkah untuk menyelamatkan satu-satunya maskapai penerbangan pelat merah.
Hal pertama yaitu melakukan transformasi bisnis.
Hal ini dilakukan karena masa sebelumnya perusahaan memiliki banyak inefisiensi baik dari sisi rute maupun operasional, maka dari itu Garuda berusaha mengoptimalisasikan rute domestik.
Garuda akan memotong jumlahnya secara signifikan dari 237 menjadi 140 rute pada 2022.
Selain rute, jumlah pesawat juga akan menurun secara drastis dari jumlah 210 pesawat yang dimiliki, sebagian dari jumlah itu diambil oleh pihak lessor.
Jika rencana bisnis perusahaan itu berjalan dengan baik mungkin jumlah pesawatnya sekitaran 168.
Jenis pesawat juga akan dikurangi dari 13 menjadi 7 untuk memangkas biaya perawatan yang mahal.
Langkah selanjutnya adalah melakukan negosiasi ulang kontrak pesawat yang diharapkan menyamai benchmark internasional.
Dengan mengubah konsep kontrak pesawat dengan beberapa lessor menjadi Power by Hour.
Berarti, Garuda tidak melakukan pembayaran dalam jumlah yang pasti, melainkan berdasarkan jam pemakaian pesawat.
Pihak Kementerian BUMN juga akan terus melakukan negosiasi ulang dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi keuangan dengan tujuan menurunkan kewajiban perusahaan dari $9,75 miliar menjadi $2,6 miliar.
Renegosiasi juga akan dilakukan dengan pihak Perbankan termasuk Bank Himbara dan Pertamina.
Dengan kondisi PT Garuda Indonesia Tbk yang dianggap bangkrut secara teknis, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, mengungkapkan telah menyiapkan dana cadangan pembiayaan investasi tahun 2022 sebesar Rp 21,5 triliun dan sebesar Rp 7,5 triliun akan dialokasikan untuk menyelamatkan PT Garuda Indonesai Tbk. Anggaran tersebut akan disalurkan oleh Sri Mulyani melalui PT Aviasi Pariwisata Indonesia. (Tim)
Penulis | Angga Sabriansyah Pratama, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang, Fakultas Ekonomi & Bisnis, jurusan Akuntansi.