Detikkasus.com | Labuhanbatu 03 Maret 2019 PC FSPMI Labuhanbatu siap mendampingi Erison Sormin Buruh sekaligus Ketua SPBun PT Perkebunan Nusantara IV Basis Kebun Ajamu Kecamatan Panai Hulu Kabupaten Labuhanbatu Provinsi Sumatera Utara, Karena di Putus Hubungan Kerjanya (PHK) oleh Perusahaan PT Perkebunan Nusantara IV, Katanya karena alasan telah melakukan Kesalahan Berat.
Erison Sormin S,Pd mengatakan “Kalaupun benar tuduhan perusahaan bahwa saya melakukan kesalahan berat atas dugaan menggelapkan barang perusahaan, Kenapa hanya saya yang di PHK, Padahal kami ada dua orang yang melakukannya, Feeling saya substansi PHK bukan karena persoalan kesalahan berat, tetapi akibat saya melakukan aksi unjuk rasa bersama puluhan Buruh Harian Lepas ( BHL) Pemanen Kelapa Sawit yang tidak jelas nasibnya hingga bertahun-tahun”. Ujar Erison
Pengakuan Erison Sormin dirinya sudah berulang menghubungi Wispramono Budiman, Ketua Umum SPBun PTPN IV memohon bantuan pembelaan dari Organisasi, tetapi tidak ada tanggapan, sehingga dirinya menemui Pengurus PC FSPMI Labuhanbatu untuk meminta dampingan pembelaan serta Surat Kuasa sudah Saya tanda tangani pada tgl 23 Pebruari 2019″ Ujar Erison.
Wardin Ketua PC FSPMI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia) Labuhanbatu saat selesai mengikuti acara jalan santai, “Membenarkan bahwa Erison Sormin ada meminta bantuan dampingan pembelaan kepada saya PC FSPMI Labuhanbatu, dan permasalahan sudah kami sampaikan ke Dinas Tenagakerja Kaupaten Labuhanbatu,
Insya Allah pada Hari Senin 11Maret 2019 akan dilakukan sidang Tripartit di Disnaker Labuhanbatu, sambil memperlihatkan Surat Panggilan dari Disnaker Labuhanbatu bernomor: 560/0856/DTK-4/2019, tgl 28 Pebruari 2019, Kami akan maksimal melalukan pembelaan, dan untuk detailnya silahkan tanya kepada Anto Bangun Sekjen PC FSPMI Lauhanbatu” Ujar Wardin.
Ditempat yang berbeda Anto Bangun saat dikonfirmasi disalah satu Warkop di Kota Rantauprapat mengatakan “Benar Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang pemutusan hubunga kerja (PHK) jika seorang pekerja melakukan kesalahan Berat”.
Tetapi tidak dapat ditemukan definisi yang pasti tentang “kesalahan berat” yang dimaksud, secara denotatif (makna yang terkandung dari sebuah kata yang objektif)
karena pada Pasal 158 ayat (1) pada huruf, a, sampai, j, telah merinci jenis-jenis kesalahan berat yang dapat mengakibatkan seorang Pekerja di PHK .
Apabila seorang pekerja/buruh melakukan penipuan, pencurian, atau pengggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; atau buruh memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; atau mabuk, meminum minuman keras; atau melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; atau menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
Kesalahan berat sebagaimana tersebut diatas harus didukung dengan bukti, yakni pekerja/buruh tertangkap tangan, atau ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan, atau bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Tetap walaupun kesalahan berat dimaksud sudah terpenuhi unsur hukumnya Perusahaan tidak bisa serta merta melakukan PHK. Karena pada pasal 155 juncto Pasal 151 Undang-Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan melarang PHK tanpa penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, kemudian PHK tanpa penetapan dari PPHI adalah batal demi hukum.
Dan ayat (3) dari Pasal 155 UU.NO.13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebelum ada putusan dari pengadilan yang berkeuatan hukum tetap terhadap pekerja yang melakukan kesalahan berat, pengusaha tidak bisa melakukan PHK, hanya bisa menjatuhkan skorsing dengan tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh tersebut.
Alasan mengapa Perusahaan tidak bisa langsung melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja yang melakukan kesalahan berat sesuai Pasal 158 ayat (1) UU.No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan
Karena sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 12/PUU-I/2003, tentang Hasil Uji Materil UU.No.13/2003 tentang Ketenaga kerjaan terhadap UUD-1945 menyebutkan, Pasal 158 ayat (1) UU.No.13/ 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar dan alasan PHK.
Kesalahan berat yang diatur dalam Pasal 158 adalah perbuatan pidana yang telah diatur dalam KUHPidana Ketentuan pasal ini dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah, mengingat pasal ini telah memberikan dasar bagi pengusaha untuk melakukan PHK secara sepihak sebelum ada putusan pengadilan.
Dengan adanya putusan MK ini, PHK atas kesalahan berat baru dapat dilakukan oleh pengusaha setelah pelaku terbukti dan dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK RI No. 012/PUU-I/2003 tersebut, pada tanggal 7 Januari 2005, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) juga sudah mengeluarkan Surat Edaran No. SE.13/MEN/SJ-HKI/I/2005 yang pada intinya meminta kepada pengusaha melakukan PHK kepada pekerja karena melakukan kesalahan berat setelah adanya terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa pekerja tersebut benar terbukti telah melakukan kesalahan berat.
Oleh sebab itu, dengan dicabutnya Pasal 158 Undang-Undang Ketenagakerjaan, berarti rincian kesalahan berat yang dilakukan pekerja/buruh dalam hubungan kerja, menjadi pengaturan di luar Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Anto Bangun menambahkan “Kesalahan berat itu sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana”. Kesalahan berat adalah perbuatan tindak pidana yang terbukti dilakukan dan dihukum oleh pengadilan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sepanjang putusan itu belum ada, PHK belum dapat dijatuhkan, kecuali berformat skorsing.
Sehingga tindakan yang dilakukan oleh Management PT Perkebunan Nusantara IV, Kebun Ajamu terhadap Erison Sormin Pekerja sekaligus Ketua SPBun PT Perkebunan Nusantara IV Basis Kebun Ajamu yang melakukan PHK sebelum adanya terbit Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,adalah diduga perbuatan melawan hukum dan perbuatan pelanggaran HAM ( Management PT Perkebunan Nusantara IV tidak menghormati azas praduga tidak bersalah yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia)
Surat Keputusan PHK, No: 04. 11 /X/ 103/ 11/ 2019, tertanggal 19 Februari 2019 yang ditandatangani oleh Rizal Damanik, Direksi PT Perkebunan Nusantara IV. menyebutkan alasan PHK kepada Erison Sormin Spd. Bahwa Sdr Erison Sormin Spd, Sudah melakukan kesalahan berat, telah melanggar ketentuan PKB Periode 2018-2019 Jucnto Peraturan Direksi No: 04.11/PER/19/IX/2018 ” Turut serta melakukan kecurangan, pencurian, penipuan, dan/atau penggelapan terhadap barang milik negara/ perusahaan” kemudian menambahkan PHK karena alasan mendesak sesuai SE. Menakertrans No::13/MEN/SJ.HK/I/2005.
Anto Bangun menambahkan “Dengan merujuk kepada ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, PHK ini adalah bentuk kesewang-wenangan yang melanggar hukum dan HAM, dengan alasan:
1). PHK dengan alasan Pekerja melakukan kesalahan berat hanya dapat dilakukan setelah adanya terbit putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
2). Memvonis langsung Erison Sormin Spd, sebagai pelaku kejahatan tindak pidana dengan menyebutkan langsung, “Turut serta melakukan kecurangan, pencurian, penipuan, dan/atau penggelapan terhadap barang milik negara/perusahaan”. Padahal untuk membuktikan benar atau tidaknya seseorang melakukan kejahatan tindak pidana kejahatan sepenuhnya adalah kewenangan kehakiman/haknya pengadilan.
Jelas dan secara terang-terangan Management PT Perkebunan Nusantara IV mencaplok kekuasaan hakim/ pengadilan, dan tidak menghormati azas praduga yang tidak bersalah.
“Penjelasan KUHAP butir ke 3 Huruf c, Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”
Kemudian pada Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 8 ayat (1) menyebutkan” Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan didepan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”
Seorang tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat martabat, dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek, yang diperiksa bukan manusia sebagai tersangka, tetapi perbuatan tindak pidana yang dikakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan, Kearah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan, Tersangka harus dianggap tidak bersalah, Sesuai azas praduga tidak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Tuduhan dan vonis langsung yang dilakukan oleh management PTPN IV, adalah merupakan dari perbuatan pelanggaran hukum HAM.
3). Dalam pembidangan hukum ketenagakerjaan dan sistim hubungan industrial tidak ada dalil yang membenarkan adanya terbit Peraturan Direksi, Apalagi diperusahaan tersebut sudah ada PKB, Sehingga tidak wajib untuk membuat Peraturan Perusahaan, Sehingga dasar dan alasan PHK yang menyebutkan melanggar Peraturan Direksi tidak memiliki Dasar Hukum.( batal demi hukum)
Peraturan Direksi tidak dapat disamakan dengan Peraturan Perusahaan, dan tentang asas legal Peraturan Perusahaan sudah sangat jelas diatur pada pasal 108-115 UU.No.13/2003 tentang Ketenaga kerjaan Juncto Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.28/2014.
4). Alasan mendesak dengan merujuk kepada SE.Menakertran No.13/2005, tidak dapat dijadikan dasar PHK karena kondisi PTPN IV tidak dalam kondisi darurat atau sedang pailit.
Tentunya hal seperti ini menjasi angat ironis jika Ketua SPBun Basis diperlakukan sewenang-wenang tanpa ada pembelaan dari Organisasi, bagaimana pula bila yang melakukan adalah anggotanya, kemungkinan dibiarkan begitu saja, padahal esensi dari organisasi serikat pekerja adalah untuk memberi perlindungan, pembelaan kepada anggotanya, kalaupun ada anggota bersalah lakukanlah pembelaan semaksimal mungkin.
Dan dari kasus ini sebagai pekerja yang cerdas diharapkan dapat memetik sebuah pelajaran agar bisa bersikap lebih hati-hati lagi untuk bergabung pada organisasi serikat pekerja yang tidak bisa melakukan pembelaan terhadap kesatuan serikat pekerjanya. Ujar Anto Bangun. ( J. Sianipar )