Detikkasus.com | Artikel
Politik dinasti diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih berada dalam hubungan keluarga. Dinasti politik memang bukan merupakan hal baru dalam perpolitikan nasional. Praktik politik dinasti masih banyak dilakukan. Di Indonesia ini masih lumrah kita temui politik dinasti.
Indonesia mulai menggunakan demokrasi setelah tumbangnya rezim orde baru dalam kepemimpinan Suharto pada tahun 1998. Ketika itu, masyarakat Indonesia bebas mengkritik, memilih, dan dipilih. Keterbukaan itu membuat masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam meraih kekuasaan.
Seluruh warga dari berbagai latar belakang pun dijamin haknya untuk ikut serta dalam politik. Kesempatan itu semakin terbuka luas ketika adanya aturan tentang desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah. Di tengah kebebasan itu ada satu hal yang dirasa janggal dan sulit dicegah hingga sekarang, yaitu politik dinasti.
Mengikuti jejak anggota keluarga ke dalam kancah politik memang bukan hal asing. Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun banyak. Sebelum era reformasi Soeharto sempat menjunjuk putrinya yaitu Siti Hardiyanti Rukmana menjadi menteri sosial. Setelah reformasi, sejumlah nama keluarga pun muncul menduduki kursi-kursi strategis dalam pemerintahan, baik di eksekutif maupun legislatif.
Salah satu praktik politik dinasti yang bisa kita ambil contoh adalah dinasti politik Ratu Atut Chosiyah di Banten. Nama Ratu Atut sendiri sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Ratu Atut sudah diingat sebagai seorang pemimpin yang lumrah mempraktikkan politik dinasti. Ketika menjadi Gubernur Banten, Atut tak sendiri menjalankan pemerintahannya. Sejumlah kerabatnya menduduki posisi strategis dalam pemerintahan. Adik kandungnya, Ratu Tatu Chasanah yang pernah menjabat sebagai wakil bupati Serang dan berlanjut sebagai bupati Serang. Adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman yang pernah menjabat sebagai Walikota Serang. Ipar Atut yang cukup dikenal, Airin Rachmi Diany, menjabat sebagai wali kota Tanggerang Selatan
Tak berhenti sampai disitu, anak Atut Andika Hazrumy bahkan berhasil menjadi Wakil Gubernur Banten periode 2017-2022. Istri Andika, Hj.Adde Rosi Khoerunnisa,S.Sos.,M.Si juga tak jauh-jauh dari politik. Ia adalah wakil ketua DPRD Provinsi Banten 2014-2019 dari fraksi partai Golkar.
Selain model politik dinasti Atut, praktik dinasti politik lainnya adalah kepala daerah yang mewariskan kekuasaannya secara turun temurun dalam satu keluarga. Dinasti politik Fuad Amin Imron atau Lora Fuad di Bangkalan, Madura. Fuad menjabat sebagai bupati Bangkalan selama 10 tahun. Pada 2003, saat Fuad mencalonkan diri sebagai bupati, ia masih menjabat sebagai anggota DPR RI. Fuad juga pernah dikaitkan dengan kasus pemalsuan ijazah yang telah diusut polri, pada akhirnya kasus itu hilang begitu saja.
Masa jabatan dua periodenya mulai memasuki masa-masa akhir, nama putra Fuad yakni Makmun Ibnu Fuad muncul sebagai kandidat kuat pengganti Fuad sebagi orang nomor satu di Bangkalan. Saat itu Makmun yang berusia 26 tahun menjabat sebagai ketua DPRD Bangkalan. Jadi, kekuasaan di Bangkalan pada waktu itu dikuasai oleh satu keluarga. Ayah menguasai pemerintahan dan anaknya menguasai DPRD.
Sejak pilkada pertama dilaksanakan pada tahun 2005, ada berbagai persoalan dalam pelaksanaan pilkada langsung yang tidak bisa diabaikan. Persoalan-persoalan itu misalnya perihal politik uang atau money politics. Selain itu ada juga persoaln penghitungan perolehan suara. Persoalan yang paling menjadi sorotan adalah munculnya politik dinasti yang nantinya akan mengancam demokrasi.
Masifnya praktik dinasti politik adalah konsekuensi logis dari proses otonomi daerah yang menuntut demokratisasi lokal. Dalam hal ini, pemilihan kepala daerah secara langsung menjadi tolak ukur kemajuan demokrasi suatu negara. Sayangnya, tujuan itu tak begitu saja dapat berakhir baik. Justru ada potensi kemunculan kondisi sebaliknya, yaitu oligarki yang menjadi musuh demokrasi.
Oligarki yakni kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang dan dipakai untuk kepentingan kelompoknya. Demi mewujudkan demokratisasi lokal, pemilihan kepala daerah langsung diupayakan. Sistem ini dianggap lebih demokratis karena memberi kesempatan lebih luas kepada masyarakat untuk mencalonkan dirinya sebagai kepala daerah. Sayangnya, kesempatan itu seringkali disalahgunakan, terutama untuk mengejar kekuasaan demi kepentingan pribadi.
Pintu politik dinasti semakin terbuka lebar ketika MK melegalkan diasti politik pada 8 Juli 2015. Dalam persidangan yang dipimpin oleh ketua MK waktu itu, Arief Hidayat, yang membatalkan Pasal 7 huruf (r) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang pilkada. Pasal itu menyebutkan bahwa syarat calon kepala daerah (Gubernur, Bupati, atau Walikota) tidak memiliki konflik kepentigan dengan pertahana.Tidak memiliki konflik kepentingan dengan pertahanan artinya, berarti tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan atau garis keturunan.
Dengan demikian, anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekat dengan pertahana dapat mengikuti pilkada serentah pada tahun 2015 tanpa harus menunggu jeda lima tahun. Arief Hidayat menyatakan, ketentuan larangan konflik kepentingan dengan pertaha memuat pembedaan perlakuan yang didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang. Padahal konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Dalam kasus-kasus yang ada, kepala daerah yang menerapkan dinasti politik cenderung sering terlibat dalam kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka yang berada dalam dinasti politik sering menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan amanah jabatan. Bahkan ketika tak lagi menjabat, mereka yang pernah menjadi kepala daerah tetap bisa mengendalikan pemerintahan karena suksesornya berasal dari keluarganya sendiri.
Kasus korupsi yang ada di Indonesia sampai saat ini sudah cukup banyak sekali. Baik dari kepala daerah, ketua DPRD, bahkan ketua DPR RI. Semua pihak yang ada dalam pemerintahan tidak menutup kemungkinan untuk melakukan korupsi. Aparat sekecil apapun itu masih bisa melakukannya. Hans Morgenthau dalam Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, menuliskan bahwa terdapat tiga hal mendasar dalam motif tindakan politik yakni mempertahankan kekuasaan, menambah kekuasaan, dan memperlihatkan kekuasaan.
Joko Widodo akan melanjutkan periode jabatannya sebagai orang nomor satu di Indonesia untuk kedua kalinya. Dia bersama Ma’ruf Amin telah dilantik sebagai presiden dan wakil presiden terpilih untuk lima tahun kedepan. Jokowi akan kembali menjadi kepala negara dan memimpin roda pemerintahan lagi di Indonesia. Namun isu tak sedap senantiasa mengiringinya selama berada di kekuasaannya. Kritik terhadap kepemimpinannya sudah menjadi cemilan sehari-hari.
Salah satu isu terbaru yang sedang berjalan-jalan di media sosial adalah bayang-bayang presiden Jokowi akan membentuk dinasti politik. Munculnya purta sulung Jokowi, Gibran yang mendaftar sebagai kader PDIP dan akan menjadi calon walikota Solo pada periode serentak 2020. Menantunya Bobby Nasution juga mengisyaratkan akan maju dalam pilkada Kota Medan 2020. Bobby mengaku telah mendapat restu dari Jokowi.
Keberadaannya dinilai bisa menjadi tokoh alternatif. Selain masih muda, mereka juga memiliki popularitas yang tinggi. Ditambah lagi dengan keberadaan ayah mereka sebagai orang nomor satu di negara ini. anak presiden dinilai akan jauh lebih mudah menjangkau dan membangun basis masa.
Walaupun PDIP sudah menunjuk paslon untuk maju pilkada 2020, tetapi Gibran sudah diterima menjadi kader PDIP. Dengan menjadi kader kemungkinan besar pamornya akan cepat naik. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Gibran akan benar-benar mencalonkan diri sebagai walikota.
Sejauh ini memang belum terlihat Jokowi bertekad membangun dinasti politik ketika Gibran menjadi kader PDIP. Tidak bisa dipungkiri bahwa sejauh ini riwayat politik Indonesia tak lepas dari kenyataan bahwa banyak tokoh penting yang pernah menempatkan keluarga, saudara, maupun kerabat di kursi pemerintah. Memang semuanya masih ada dalam koridor demokrasi, meskipun ada yang memandang negatif. Sejauh ini jika kita telisik lagi, Jokowi bukan tipe orang yang seperti itu.