Dilema Partai Golkar Tanpa Pemiik

Kamis, 19 Desember 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Detikkasus.com | Artikel

Awal Desember 2019, Partai Golkar menunaikan forum pengambilan keputusan tertinggi. Mwlalui Munas X itu, dihasilkan banyak keputusan, salah satunya akibat tak punya kandidat penantang secara aklamasi menyepakati Airlangga Hartaeto untuk kembali memimpin DPP Partai Golkar, sebagai Ketua Umum periode lima tahun ke depan.

Sepanjang era reformasi, inilah kali pertama Munas Partai Golkar berlangsung sempurna tanpa riak. Mulus menghasilkan Ketua Umum tanpa tanding. Jauh beda sekian kali munas sebelumnya, selalu dilumuri pertentangan diantara tim. Pertarungan kandidat yang sama kuat, serta kekuatan – kekuatan lain masing – masing dimiliki.

Saking dinamisnya, sepanjang era reformasi, Golkar pernah menghadapi kepemimpinan kembar dari “Munas Kembar 2014”, antara kubu Aburizal Bakrie versus Agung Laksono. Dan sebelum Munas X-2019, dua kali terjadi Munaslub. Satunya 2016, mensahkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum. Dan satunya lagi 2017, mensahkan Airlangga Hartarto.

Dilema Era Reformasi

Dinamika yang tak pernah lepas merundung Partai Golkar itu, musabab sebenernya selain karena factor internal Golkar sebagai konsekuen atas keberadaannya sebagai front gabungan golongan, tak bisa lepas atas fraksi-fraksi. Sisi lain yang sulit dipungkiri, karena factor syahwat exsternal kekuasaan pemerintah sedang berkuasa di setiap masanya.

Beda di masa Orde Baru, dimana Golkar menjadi partai penguasa, bahkan juga sulit dipungkiri untuk mengelak apa dikata pengamat, Golkar partainya penguasa. Dibuktikan struktur Dewan Pembina, yang dalam AD/ART Golkar memiliki kewenangan tertinggi. Dan Ketua Dewan Pembina adalah Soeharto, tak lain adalah Presiden, Kepala Pemerintahan.

Baca Juga:  Pembuatan Tempat Hand Sanitizer Manual Injak Kaki Oleh PMM 18 UMM Untuk Desa Tegalsari

Sebab itu, di Masa Orde Baru, hubungan antara kepentingan kekuasaan pemerintah dan Golkar itu sendiri, berjalan harmonis dan selaras. Pun jika terjadi pertentangan antar fraksi golongan – golongan di internal, Golkar sangat mudah menjinakkannya secara internal pula.

Jauh beda di era reformasi, dimana Golkar bukan lagi partai penguasa. Selama enam kali pemilu, Golkar hanya sekali tampil menjadi peringkat teratas pemenang pemilu 2004, selebihnya hanya peraih kursi di DPR/MPR-RI. Sementara dukungan pasangan Pilpres, hanya Pilpres 2019, Partai Golkar berada dipihak pemenang, selebihnya di pihak yang kalah.

Risikonya khususnya pasca pelaksanaan Pilpres Golkar selalu terombang ambing, berada dalam posisi ketidakpastian terhadap dukungan politiknya kepada kekuasaan terpilih. Dan faktanya, justru arus kekuasaan lebih deras mengalir, mencampuri urusan internal Golkar.

Dilema Masa Depan

Apa boleh buat, resiko politik seperti itu mau tak mau akan terus diperhadapkan dengan Golkar dimasa masa yang akan dating. Dan Partai Golkar siap tak siap harus memiliki modal kuat untuk menghadapinya secara terhormat di setiap fase. Sedikit salah arah, membawa Golkar masuk kedalam jurang.

Konsekuensi seperti itu menjadi hal mutlak bagi Golkar sebagai partai tua. Selain Golkar dan PPP, partai politik lainnya yang didirikan di era reformasi, masing masing memiliki personal kuat sebagai pendiri. Kewenangan dimiliki, juga sangat luas. Selain sebagai “pemilik” partai, juga memiliki kewenangan hak veto. Sehingga mudah menepis intervensi external.

Baca Juga:  Tantangan Partisipasi Politik Indonesia

Bagi Golkar, pasti menjadi suatu yang tak mungkin dilakukan sekalipun itu juga menjadi kebutuhan, agar memiliki independensi untuk leluasa mengatur diri sendiri, menghadapi tantangan politik eksternal, khususnya campur tangan pemerintahan yang brkuasa, sebab Golkar didirikan 20 Oktober 1964, bukan hajat perseorangan, tapi kemauan rakyat melalui 291 ormas yang tergabung di Sekber Golkar, akibat gonjang ganjing politik negara kala itu.

Pemilihan Presiden secara langsung, pasti memiliki dilemma tersendiri bagi Golkar. Namun di satu sisi sebagai partai politik lebih tua dengan track record yang panjang, mesti melihatnyasebagai risiko politik yang sebenarnya diperlukan untuk membuat Golkar lebih matang. Nahkan justru dengan tanpa personal kuat yang memiliki hak veto, semakin membuktikan bahwa Golkar sebagai partai politik demokratis. Meski taruhan konsekuensi risikonya sangat mahal.

Golkar dan Kekuasaan

Sepanjang perjalanan era reformasi, faktanya Partai Golkar seringkali nyaris digelincir masuk ke jurang, meski maksud ccampur tangan exsternal bukan bertujuan untuk itu. Malah justru, karena kian tingginya syahwat kebutuhan kepada Golkar agar ikut menopang kekuasaan pemerintah. “Kalo Golkar goyang-goyang, negara juga ikut goyang-goyang”, kata Jokowi.

Baca Juga:  Warga Dusun Gajah, Desa Ngembeh, Kecamatan Dlanggu, Mojokerto Tumpengan Megengan Sambut datangnya bulan suci Ramadhan 1445 H/ 2024 M

Ketika SBY-JK memenangi Pilpres 2004 tanpa dukungan Golkar, Wapres Jusuf Kalla serta merta memaksakan diri merebut kursi Ketua Umum Golkar di Munas Bali. Lalu Munas Riau – 2009, Presiden SBY terpilih juga tanpa Golkar, balik mendukung Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum. Dan paling dramatis saat Jokowi-JK memenangi Pilpres 2014, tanpa dukungan Golkar, campur tangan kekuasan membelah dua kepengurusan Golkar, tak kuasa dielak. Aburizal Bakrie terguling di periode kedua. Setrya Novanto terpilih sesuai selera kekuasan.

Kenapa syahwat kekuasaan sedemikian harus terjadi. Padahal kekuatan kursi dimiliki Golkar di parlemen tak signifikan. Selalu hanya berada di urutan kedua. Masalahnya, itu tadi selain karena kekuasaan tak percaya diri tanpa punya personal kuat dan memiliki hak veto, sehingga ruang mengintervensinya terbuka lebar.

Pertanyaan berikut, lalu kenapa Munas X-2019 mampu menghasilkan Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum dengan cara aklamasi tanpa tanpa tanding. Jawabannya, karena inilah kali pertama, dukungan Golkar tepat sasaran dalam Pilpres 2019 pada Jokowi mengatakan taka da campur tangan Istana Negara dalam Munas, tapi mundurnya Bambang Soesatyo, sulit diingkari sebagai spekulasi akan campur tangan itu.

Nama : Nindi Pramesti

Nim : 201910050311077

Kelas : Ilmu Pemerintahan / B

 

Berita Terkait

Rustam Efendi, SH: Sidang Perdana Kita Tidak Boleh Berasumsi
Satgas TMMD 120 Kodim Bojonegoro, PMI dan Tagana Sosialisasikan Sekolah Siaga Bencana
Polri Siap Amankan Welcoming Dinner Delegasi World Water Forum Ke-10 Di GWK
Siapkan Mudik Lebaran, Kapolres Bojonegoro Cek Jalur dan Perketat Pengamanan
Mengejar Berkah Malam Lailatul Qodar
Kabid Propam Polda Aceh : Pimpin Apel Pagi Di Mapolda Aceh
Tim Patroli Presisi Sat-Samapta Polres Aceh Tengah, Rutin Lakukan Patroli Pengamanan Saat Warga Beribadah Shalat Taraweh Malam Di Bulan Ramadhan
Sulfur Milik PT PAMA Disimpan Di Lapangan Terbuka Kuala Langsa : LBH Iskandar Muda Aceh Minta Polda Harus Ambil Tindakan
Tag :

Berita Terkait

Jumat, 14 Juni 2024 - 20:44 WIB

Rustam Efendi, SH: Sidang Perdana Kita Tidak Boleh Berasumsi

Rabu, 29 Mei 2024 - 17:19 WIB

Satgas TMMD 120 Kodim Bojonegoro, PMI dan Tagana Sosialisasikan Sekolah Siaga Bencana

Senin, 20 Mei 2024 - 22:27 WIB

Polri Siap Amankan Welcoming Dinner Delegasi World Water Forum Ke-10 Di GWK

Minggu, 7 April 2024 - 17:10 WIB

Siapkan Mudik Lebaran, Kapolres Bojonegoro Cek Jalur dan Perketat Pengamanan

Sabtu, 6 April 2024 - 20:50 WIB

Mengejar Berkah Malam Lailatul Qodar

Berita Terbaru