Penulis : Siska Rahma Mayangsari, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Psikologi angkatan 2018.
Anak jalanan sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita bahkan sudah tidak diragukan lagi keberadaanya. Anak jalanan yang dimaksud yaitu merupakan anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum. Apapun bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, ada beberapa anak jalanan yang rela melakukan dengan kemauan mereka sendiri, namun kebanyakan dari mereka dipaksa untuk melakukannya. Beberapa anak jalanan khususnya di Negara berkembang merupakan anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Pekerjaan yang mereka lakukan itu beragam seperti, mengemis, mengamen, pengelap kaca mobil, menjual koran, menyemir sepatu, dan lain sebagainya. Anak jalanan ini biasanya memiliki usia yang berkisar antara enam hingga delapan belas tahun. Kita bisa menemuinya baik itu di emperan toko, stasiun, dipinggir trotoar, tempat pembuanan sampah, di bawah jembatan, terminal, pasar, bahkan tempat wisata sekalipun. Anak jalanan sendiri terbagi menjadi dua kelompok, yang pertama yaitu anak semi jalanan yang di istilahkan untuk anak-anak yang hidup dan mencari penghidupan di jalan tetapi tetap memiliki hubungan dengan keluarga. Lalu yang kedua anak jalanan murni, yang di istilahkan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani kehidupannya di jalanan tanpa memiliki hubungan dengan keluarganya.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi anak jalanan baik itu faktor internal maupun eksternal, seperti ekonomi yang tidak memadai, tidak mendapat perhatian khusus dari keluarga, pola asuh yang salah, lingkungan, kasus kekerasan, kematian, anak diancam putus sekolah, hingga broken home. Namun yang dianggap menjadi faktor utama munculnya anak jalanan yaitu kemiskinan. Kemiskinan dapat menyebabkan anak putus sekolah dan menjadikannya terlantar dijalan. Keberadaan anak jalanan yang semakin besar jumlahnya dirasakan semakin mencemaskan karena mereka merupakan generasi penerus bangsa.
Kehidupan anak jalanan ini sangat berbahaya, mereka dihadapkan dengan permasalahan besar bahkan tumbuh di lingkungan yang berbahaya yang dapat menimbulkan resiko yang mengancam setiap saat. Kebanyakan dari anak jalanan kerap kali mendapatkan perlakuan yang tidak pantas, seperti kekerasan, pelecehan, eksploitasi, korban penyalahgunaan narkoba, bahkan preman sering mempekerjakan mereka untuk menghasilkan uang. Menurut data KPAI dari total jumlah anak di Indonesia yaitu sebesar 87 juta, sebanyak 6 persen mengalami kekerasan.
Jumlah data anak jalanan sudah tidak dapat dipungkiri lagi, khususnya di Negara berkembang yaitu Indonesia yang setiap tahunnya mengalami peningkatan drastis yaitu sekitar 16 ribu lebih anak jalanan yang belum tertangani. Mereka membutuhkan perhatian yang lebih dan bukan untuk dikucilkan atau bahkan dibuang semena-mena. Banayak yang memandang buruk terhadap anak jalanan karena mereka identik anak yang liar yang kurang akan pendidikan. Anak jalanan seharusnya dilindungi, diberikan hak-haknya dan perlu dibekali ilmu yang bermanfaat sama seperti anak-anak lain pada umumnya. Self esteem sangat penting bagi anak jalanan, yaitu dapat dilakukan dengan cara melakukan pendekatan terhadap mereka tanpa boleh membeda-bedakan. Self esteem sendiri merupakan evaluasi menyeluruh terhadap diri sendiri yang bersifat khas, mengenai percaya diri, mandiri, keberhargaan, keberhasilan, serta penerimaan diri yang dibuat dan dipertahankan oleh individu yang berasal dari interaksi individu dengan orang lain. Self esteem rendah dapat menyebabkan seseorang kehilangan orientasi dalam menghadapi realitas, sehingga seseorang mudah merasa sedih, gelisah, juga tertekan. Selain self esteem, upaya untuk menanggulangi anak jalanan yaitu dengan komunitas atau lembaga sosial yang sangat berperan besar dalam menanggulangi anak jalanan. Kementrian sosial telah mengupayakan yaitu melalui Rumah Singgah, Panti Asuhan, Yayasan Perlindungan Sosial Anak. Kementrian sosial juga memberikan bantuan sosial anak melalui Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA). Komunitas atau lembaga harus aktif melakukan peninjauan ke daerah-daerah tertentu untuk mendata anak jalanan dan mengajak mereka untuk bergabung dalam komunitas sosial. Hal ini dilakukan agar anak jalanan tetap mendapatkan pelayanan sosial yang layak tanpa melihat mereka masih memiliki keluarga atau tidak.
Anak jalanan diharapkan dapat hidup layaknya seperti anak-anak lain. Mereka layak mendapatkan fasilitas yang sama, selain itu setiap anak memiliki hak untuk hidup, hak mendapatkan kasih sayang dari keluarga, hak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan eksploitasi, hak mendapat pendidikan, hak atas makanan, layanan kesehatan, hak untuk kebebasan, identitas diri dan hak partisipasi.