Propinsi Jawa Timur – Kabupaten Ponorogo, detikkasus.com – Peta politik Pilgub Jatim 2018 mulai ada titik terang setelah Khofifah Indar Pawansa dan Emil Dardak mengantongi Rekomendasi dari SBY (Demokrat) dan Golkar beberapa hari lalu.
Hal ini menunjukkan Khofifah siap turun gelanggang di ajang pilgub Jawa Timur 2018. Beberapa Partai Politik selain Partai Demokrat dan Golkar masih ada Nasdem serta kemungkinan beberapa partai lainnya, akan mendorong khofifah untuk running dalam perhelatan Pilgub Jatim sebagai calon gubernur.
Menurut Tokoh Politik Gaek Ponorogo, Supriyanto meski sudah dua kali menderita kekalahan di pilgub Jatim tahun 2008 dan 2013, khofifah tidak patah arang untuk bertarung kembali dalam kontestasi pilgub Jatim tahun depan. “Dalam pilgub jatim 2008 Khofifah-Mudjiono (KAJI) menjadi runner up dan kalah tipis dengan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf ( KarSa),” kata Supriyanto, Minggu (26/11/2017).
Dia menambhkan pada ajang pilgub Jatim 2013 berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara KPU Jawa Timur, khofifah-Herman ( BERKAH ) memperoleh 37,64 Prosen , menjadi runer up untuk kedua kalinya , kalah dengan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf ( KarSa) yang memperoleh suara tertinggi 47,25 Prosen. “Kalau kita perhatikan hasil pilgub Jatim tahun 2008 dan tahun 2013 , meskipun kalah tetapi suara yang diperoleh Khofifah pada kedua ajang pilgub tersebut sangat significant dan Khofifah telah menjelma sebagai tokoh politik yang sangat diperhitungan di Jawa Timur,” papar Kang Pri, panggilan akrab Supriyanto yang juga mantan Ketua DPC PDIP Ponorogo.
Lantas seperti apa peta kekuatan khofifah di Pilgub Jatim tahun 2018 ? “Sebagai ketua Muslimat NU yang sangat mengakar, dan menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia, sudah barang tentu akan menambah performa khofifah, dan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk menarik dukungan,” tambahnya.
Menurut Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra ini Khofifah telah terlahir sebagai sosok yang memiliki power besar, mempunyai kemampuan untuk melakukan konsolidasi kekuatan politik di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi Jawa Timur.
Namun menurutnya, ternyata sejarah mencatat bahwa nama besar khofifah belum mampu mengantarkannya sebagai pemenang di pilgub Jatim selama ini. “Menghadapi gelaran kontestasi Pilgub Jatim 2018 , Sosok khofifah seakan menjadi bintang dengan daya pikat dan pesona yang begitu menakjubkan , hal ini dibuktikan dengan banyaknya dukungan dari partai politik,” imbuhnya.
Lebih hebatnya lagi dengan pesona politik dan kharisma yang ada pada diri khofifah, partai Demokrat yang dikomandani oleh SBY sebagai Ketua Umum, dan pak dhe Karwo sebagai Ketua DPD Partai Demokrat Jatim yang sekaligus sebagai Gubernur Jawa Timur, ternyata tergoda dengan pesona politik khofifah. “Sehingga Demokrat terpaksa membuka gelombang ke dua untuk pendaftaran cagub/cawagub yang sebenarnya telah ditutup, sebagai pintu masuk khofifah lewat gerbong Demokrat,” jelasnya.
Lebih lanjut mantan anggota Fraksi PDIP DPRD Jatim ini, Partai Besutan SBY ini seakan tidak percaya diri menghadapi pilgub Jatim 2018, untuk mengusung kader kader terbaiknya untuk running di pilgub jatim 2018, seperti layaknya di Pilgub DKI 2016 yang mencalonan AHY (Agus Harimurti Yudhoyono) yang merupakan putra mahkota Cikeas.
Strategi yang diambil Demokrat ini menurutnya kurang ideal. “Sebagai Partai yang telah menjadi leader dengan menempatkan kadernya selama dua periode menjadi gubernur Jatim, terus sekarang hanya menjadi Follower /pengikut , ini rasanya jauh dari ideal, seharusnya Partai Demokrat mampu menjadi sentral dari permainan pilgub Jatim ini,” ucapnya.
Langkah Partai Demokrat memberi rekomendasi kepada pasangan Khofifah-Emil Dardak mendahului partai partai lainnya, yang terlebih dahulu menyatakan mendukung khofifah rasanya tidak bisa menghapus kesan bahwa Partai Demokrat ini hanya menjadi follower/mengikuti partai lainnya. “Namun demikian apapun keputusan Partai Demokrat ini harus kita hormati karena memang itu merupakan hak penuh dari partai yang bersangkutan,” tandasnya.
Memperhatikan kondisi dan suasana politik seperti di atas, dalam perhelatan pilgub Jawa Timur 2018 , rasanya Peluang Khofifah untuk memenangi kontestasi tersebut sangat terbuka lebar. “Namun demikian tidak sedikit hambatan, tantangan,dan beban psikologis yang akan menghadang gerak langkah Khofifah. Kendala kendala ini akan sangat fatal jika Khofifah beserta Tim Pemenangannya tidak mampu mengelola dengan baik dan benar, bahkan bisa menghantarkan khofifah takluk untuk ketiga kalinya di ajang Pilgub Jatim 2018,” tegasnya.
Sedikitnya ada beberapa isu dan opini yang berkembang di sebagian kalangan masyarakat yang harus dikelola secara baik, di antaranya adalah adanya isu Gender. “Pilgub Jatim 2018, kayaknya akan menjadi medan pertempuran (Battle Ground)
Antara Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawansa. Keduanya lebih dikenal sebagai sosok politik yang religius dari unsur NU,” bebernya.
Persaingan antar keduanya begitu sengit dan keras, sehingga kemungkinan isu isu yang terkait dengan kepeminpinan perempuan akan menyeruk dan heboh kembali layaknya pada pilpres 2004. “Jika isu ini heboh menggelora kembali, mau tidak mau akan merugikan Khofifah,” tuturnya.
Adanya isu Khofifah yang selalu kalah dalam Pilgub Jatim seakan menjadi sebuah trademark. “Dua kali Kekalahan Khofifah di Pilgub Jatim 2008 dan 2013 kayaknya masih membekas di sebagian masyarakat di Jawa Timur,” ujarnya.
Banyak masyarakat yang masih pesimistis terhadap Kekuatan dan kemampuan Khofifah untuk bertarung di pilgub, karena selama mengikuti pilgub Jatim Khofifah selalu kalah. “Opini ini sangat merugikan Khofifah , karena pada dasarnya masyarakat lebih senang memilih calon yang diyakininya akan menang,” bebernya.
Kemudian adanya isu Negatif terhadap Sikap Politik Khofifah. “Tidak sedikit masyarakat yang masih bingung , dan heran dengan sikap Khofifah yang maju untuk ketiga kalinya di Pilgub Jatim, pada hal beliau sekarang menjabat sebagai Menteri Sosial,” imbuhnya.
Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa jabatan menteri lebih tinggi dari pada jabatan Gubernur. “Ada sebagian masyarakat yang menilai bahwa sikap seperti ini kurang elegan dan cenderung dinilai agak ambisius. Kesan ini bisa merugikan Khofifah,” tandasnya.
Lantas adanya Isu Persoalan Hukum terhadap oknum dari partai pengusungnya. “Pemberitaan media yang heboh dan terus menerus terhadap kasus E-KTP yang melibatkan Setya Novanto ( Ketua Umum Partai Golkar) sedikit banyak akan berpengaruh negatif terhadap citra pasangan calon yang diusung oleh partai yang bersangkutan,” ungkapnya.
Isu Cawagub Yang terlalu muda, belum banyak pengalaman, dan belum berprestasi. “Emil Dardak merupakan salah seorang berlatar belakang pendidikan yang cukup cemerlang. Namun sayang dibidang pemerintahan belum menunjukan prestasinya, karena baru beberapa tahun menjabat bupati Trenggalek, apalagi di bidang politik track record-nya masih sangat minimalis. Beda dengan Ipong Muchlissoni bupati Ponorogo misalnya. Sekalipun Ipong masih belum punya prestasi di pemerintahan karena baru menjabat sebagai bupati Ponorogo, tetapi di bidang politik beliau cukup mumpuni dan berpengalaman malang melintang dalam kontestasi politik, punya daya dobrak yang cukup kuat , dan mempunyai semangat tarung ( fighting Spirit) yang tinggi , serta orangnya cukup pemberani,” akunya.
Merujuk pengalaman pilkada DKI Jakarta 2016, AHY ( Agus Harimurti Yudhoyono) yang awalnya cukup fenomenal dengan kreasi kampanyenya, kostum bajunya, dan penampilnya sangat disuka kalangan muda, dengan latar belakang keluarga yang sangat hebat yaitu pak SBY , ditunjang lagi istri AHY Anisa Pohan selebritis yang cukup populer. “Ternyata ini semua tidak banyak menolong, akhirnya AHY hanya memperoleh suara yang kurang significant. Kelemahan utama AHY adalah belum berprestasi , dan pengalaman politiknya masih sangat minim, sehingga masyarakat menjadi ragu untuk memilihnya. Barangkali ini harus diperhatikan oleh Tim Khofifah terhadap kondisi faktual Emil Dardak,” ulasnya.
Kemudian, isu Pernyataan Pak Dhe Karwo yang tidak jadi Juru Kampenye Khofifah. Ketua Partai Demokrat Jawa Timur Soekarwo mengatakan tidak akan menjadi juru kampanye untuk pemenangan pasangan calon yang diusung partainya, khofifah-emil. “Dengan alasan beliau lebih memilih fokus menjalankan tugasnya sebagai gubernur Jawa Timur, serta untuk menjaga stabilitas keamanan, agar suasana Jatim menjadi lebih kondusif.
Ungkapaan Soekarwo tersebut rasanya sangat klise. Sebagai ketua partai di Tingkat propinsi, mestinya sikap keberpihakan dalam sebuah kontestasi untuk memenangkan calon yang diusung partainya, tentu harus diperlihatkan secara jelas ke publik, apalagi Efek elektoral pak Dhe Karwo saya yakin masih cukup besar,” bebernya.
Menurutnya, sikap ketua Partai pengusung yang semacam ini akan berpengaruh negatif terhadap calon yang diusungnya. “Isu Khofifah tidak mau berbagai. Di internal NU banyak yang berharap untuk sesama tokoh NU bisa berkoordinasi dan berbagi peran untuk kemaslahatan umat, khofifah sebagai ketua umum Muslimat NU sekaligus sebagai menteri sosial diharapkan bisa berkontribusi terhadap kemajuan umat lewat kementrian sosial yang cukup strategis,” paparnya.
Demikian juga Gus Ipul sebagai pimpinan NU ditingkat pusat dan menjadi wakil gubernur Jawa Timur, diharapkan mampu berkontribusi terhadap kemajuan umat sebagai kepala daerah di Jawa Timur. Sehingga diharapkan sesama kader NU bisa berbagi peran. “Ini isu yang juga harus dikelola dengan baik Khofifah , kalau tidak akan berefek negatif utamanya di kalangan NU,” terangnya.
Semua yang berkenaan dengan ketujuh isu tersebut di atas seharusnya dikelola secara tepat dan benar. “Ini menjadi sangat penting dan strategis mengingat pertarungan antara Gus Ipul dengan Khofifah akan berjalan sangat ketat, maka persoalan sekecil apapun harus dicarikan solusinya yang tepat,” pungkasnya. (MUH NURCHOLIS)