Oleh: Fadlin Guru Don
(Direktur Riset dan Analisis Data Lembaga Analisis Politik Indonesia & Akademisi Universitas Mercu Buana Jakarta)
ASAM di gunung garam di laut di periuk ketemu jua, demikian pepatah kuno acap kita dengar. Pepatah itupun berlaku bagi kedua orang anak perantuan Dr.H.Ghazaly Ama La Nora dan Edy Sabhara. Yang besar di Indonesia bagian Barat, tepatnya daerah khusus ibukota Jakarta, yang lain besar di Indonesia bagian Timur, Sorong Papua Barat. Keduanya berbeda profesi, Ama La Nora begitu dia biasa disapa, besar dalam lingkungan pendidikan mulai menjadi guru SDI (Sekolah Dasar Islam) Jati Pinggir Tanah Abang hingga Dosen Tetap Komunikasi di Fakultas Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta. Bergelar, Strata Satu (S1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP), Sukabumi Jawa Barat; Strata Dua Ilmu Administrasi Pemerintahan (S2) Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Setia Mandala (STIAMI) Jakarta, Doktor Ilmu Komunikasi Politik (S3) Universitas Sahid Jakarta. Sedangkan Edy, nama panggilan hari-hari, asal Sape, menjalani hidup sebagai pebisnis sukses bidang Perminyakan di Papua Barat. Merintis usaha dari bawah sampai menjadi Bos Perminyakan; memiliki belasan Pombensin di Papua–satu diantanya Pombensin di Penatoi Kota Bima, NTB serta dua buah kapal tengker minyak.
Mereka berasal dari desa ujung Barat kabupate Bima Barat, kecamatan Donggo dan ujung Timur kabupaten Bima, kecamatan Sape. Secara geostrategic dan geopolitik pasangan bakal calon bupati Bima tersebut sangat strategis untuk memenangkan pertarungan dalam kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan berlangsung 2020. Kehadiran pasangan ini pasti memiliki pengaruh signifikan terhadap perolehan suara masing-masing pasangan yang bertarung terutama petahana. Sebab Donggo, Sape, Wera, Lambitu, Bolo, Madapangga dalam Pilkada 2015 merupakan basis suaranya Dinda. Kini bisa-bisa keok yang menyakitkan! Peta politik akan berubah drastis dengan Pilkada periode lima tahun lalu, suara Donggo dan Sape bisa menjadi modal dasar sekaligus sebagai posisi strategis pergerakan pelaksanaan kampanye dalam mempersuasi pemilih. Bima Barat, mulai Tambora, Kore, Madapangga, Dena, Bolo, Donggo dan Soromandi. Sedangkan Bima Timur, Ambalawi, Wera, Sape, Lambu, Lambitu, insya Allah pemilih secara kultural maupun psikologis akan memilih pasangan Ghazaly – Edy. Selanjutnya, tinggal melakukan ekspansi wilayah Tengah kecamatan Belo, Woha, Monta, Tangga dan sekitarnya sehingga bisa saja suara Wilayah Tengah tergerus pasangan Ghazaly-Edy. Sebab dalam politik semua serba memungkinkan, the art posible.
Apalagi yang turun gunung ini bukanlah orang kacangan. Sebagai doctor komunikasi politik tentu telah memiliki strategi jitu untuk melumpuhkan lawan politik. Betapa tidak, Ama La Nora, tokoh kawakan yang biasa bermain di dunia pergerakan, politik praktis sejak 1977 – sekarang dengan latar belakang wartawan politik senior hari-hari bertengger di pusaran politik nasional yakni DPR/MPR RI. Pengalaman politik dan pergerakan tidak bisa dipandang sebelah mata. Teori politik yang mumpuni akan menjadi senjata andalannya dalam mengatur strategi kemenangan Pilkada. Kekayaan pengalaman seorang dodtor komunikasi politik dikombainasikan dengan limpahan materi dari pengusaha minyak terkaya sePapua Barat bisa menjadi kekuatan besar (super power) melumerkan lawan politiknya. Karena Edy Sabhara, orang bertipe pemain total foot ball. “Pak Edy itu orangnya tidak main-main, kalau sudah terjun ibarat orang mandi ya mandi basa sekalian. Cuman orang tidak pamer, low profile,” cerita Firdaus, orang kepercayaannya ketika bertandang ke Jakarta, dua pekan lalu.
Teristimewa pasangan Ghazaly-Edy, adalah sama putra asli Bima, dilahirkan diperut pedesaan dana Mbojo, besar di rantuan yang acapkali pulang kampung 4-5 kali setahun. Tidak ada yang perlu diragukan keorsinilan sebagai Ana Dou Mbojo. Ghazaly, anak seorang kiai, yang mensyahadatkan orang Donggo dari ajaran animinsme, tahyul dan bid’ah. Mantan kepala desa Oo Donggo, eks anggota DPRD kabupaten Bima, salah seorang pelaku peristiwa Donggo 1972, bersama saudaranya, H.Kako, H.M.Ali Taamin, Abas Oya, BA, dan Jamaluddin H.Yasin. Mereka menghuni penjara, dari satu penjara ke penjara lain; penjara pengkambingan Bali, Mataram dan Bima dengan masing-masing selama 2.5 tahun sampai 5 tahun. Semua demi perbaikan taraf hidup bangsa dan Negara, utamanya di kabupaten Bima. Dari gen (darah) Bacabu Bima, tidak perlu lagi disanksikan integritas maupun komitmen untuk membangun daerah. Jika orangtua dan keluarganya rela mendekap dibalik jeruji, maka Ghazaly siap mewakafkan sisa umur buat dana Mbojo. Sama halnya seorang Edy, kesetiaanya pada tanah leluhur dana Mbojo, ditunjukan dengan karya nyata (Nggahi rawi pahu) membangun Mesjid Megah Terapung berAc di Sape dan Pom bensin di Penato’i. Akhir tahun ini akan mendirikan pabrik Jagung sekaligus Mesin Pengeringnya di Lawata Bima. Juga ditengah kesibukan memanage usaha di Sorong Papua, Edy merupakan Kepala Suku Bima-Dompu di Papua Barat. Satu bukti nyata, nasionalisme keMbojaannya terpelihara!!!