“Citra Perempuan Dalam Politik”

Oleh: HANIFAH MUJAHADAH
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Detikkasus.com | Berbicara tentang perempuan dan politik, tidak lepas dari image dan konstruksi sosial perempuan dalam relasi masyarakat. Image yang selama ini diteguhkan dalam benak masyarakat adalah konsep-konsep stereotipe tentang perempuan diberbagai sektor, termasuk dalam sektor politik dan pemerintahan. Image yang kebanyakan merupakan stereotipe tentang perempuan, akhirnya “ditarik” ke dunia publik termasuk di duni politik bahwa perempuan “tidak layak” memimpin karena perempuan tidak rasional dal lebih mengandalkan emosinya. Pandangan yang bersumber dari stereotipe dan keyakinan gender inilah yang akhirnya banyak menimbulkan ketimpangan gender diberbagai sektor.
Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun kesempatan karena berbagai faktor itu jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas , yang kesemuanya itu diasumsikan milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur/domestik, tidak bisa berpikir rasional dan, kurang berani mengambil resiko, yang itu semua sudah menjadi stereotipe perempuan. Akibatnya, baik perempuan atau laki-laki dan masyarakat secara umum, sudah menarik kutub yang berbeda bahwa dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan. Hal ini juga berkatan dengan sosialisasi peran gender.
Faktor lain adalah ketimpangan-ketimpangan gender yang berakar dari sosial budaya mengakibatkan jumlah perempuan yang mencapai jenjang pendidika tinggi lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Akibatnya, perempuan tidak mempunyai pengetahuan yang memadai dan tidak bisa berkiprah dalam dunia politik. Selain itu, pemahaman politik dikalangan perempuan juga masih rendah, mengingat dunia politik adalah “ milik laki-laki”, msks masyarakat memandang tidak perlu memberi pemahaman politik pada kaum perempuan.
Di indonesia, gambaran peran perempuan dunia publik yang terkait dengan politik secara statistik masih belum menggembirakan. Hal itu dapat dicermati dari hasil pemilu dari tahun ke tahun. Peran perempuan dibidang politik, termasuk pucuk pimpinan penentu kebijakan di pemerintahan baik tingkat pusat maupun daerah, desa sekalipun, masih didominasi kaum pria. Bukan berarti tokoh politik perempuan, dan pemimpin perempuan di bidang pemerintahan tidak ada, namun jumlahny masih sangat jauh dari imbang dengan jumlah pemimpin dan tokoh politik laki-laki. Sementara itu, secara statistik jumlah penduduk lebih banyak perempuan daripada laki-laki.
Minimnya jumlah perempuan sebagai penentu kebijakan politik, menyebabkan keputusan mengenai kebijakan umu yang mempengaruhi kesejajaran perempuan masih dipegang oleh laki-laki, yang sebagian besar masih meng-image-kan bahwa politik tidak cocok untuk perempuan, perempuan manut saja apa yang keputusan politik yang akan diambil oleh laki-laki karena laki-laki yang tahu dan layal berpolitik, serta segudang image.
Keterlibatan perempuan dalam bidang politik di Indonesia sebenarnya bukan merupakan hal baru karena perempuan telah turut serta secara aktif dalam pergerakkan kebangsaan. Sebelum datangnya kolonialisme juga telah dikenal beberapa nama dalam sejarah politik bangsa, seperti Sultan Sri Ratu Alam Safiatuddin Johan Berdaulat, yang dinobatkan memerintah pada tahun 1641-1675 di Aceh. Siti Aisyiah W. Tenriolle dari Ternate. Sanggaramawijaya yang menjadi tangan kanan Airlangga, dan tokoh-tokoh lain.
Bukan berarti saat ini tidak ada perempuan yang menjadi tokoh politik, tetapi jumlah dan kualitas belum sepeti yang diharapkan. Dari jumlah yang sedikit itu, juga belum semuanya mempunyai sensitivitas gender. Kalaupun mereka telah mempunyai sensitivitas gender, dan perspektif gender dalam setiap ide dan kebijakan politiknya, namun mereka kembali menghadapi halangan untuk mewujudkan.
Hambatan bagi perempuan dalam partisipasi politik. Secara statistik, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Seharusnya perempuan mempunyai kemampuan dan peran yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Akan tetapi, yang terjadi, justru perempuan sering tidak terpilih atau dipilih dalam pencalonan diri. Mengapa hal ini terjadi? Apakah perempuan kurang cukup dapat mengkampanyekan dirinya/citra dirinya? Apakah perempuan-perempuan pemilih tersebut memang sudah puas dan menganggap kepentingannya sudah dapat diwakili oleh laki-laki? Apakah memang perempuan tidak diberi kesempatan untuk direkrut dan dipilih sebagai pemimpin? Sudah tentu semua alasan itu saling berkaitan dan menyebabkan ketimpangan jumlah perempuan pada tataran pengambil keputusan. Di Indonesia, hambatan partisipasi bagi perempuan untuk berpolitik juga tidak jauh berbeda dari yang terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara, anatara lain faktor ekonomi, sistem kepartaian, mitos yang berkaitan dengan sosial budaya, stereotipe, segregasi gender dalam bidang pekerjaan, dan budaya patriarki.
Selain semua faktor tersebut, institusi politik yang ada seringkali menyebabkan perempuan menjadi tidak tertarik untuk memasukinya. Intitusi politik sampai sekarang masih didominasi sebagian besar oleh laki-laki, dan perempuan juga tampaknya tidak didorong untuk memasukinya. Dominasi laki-laki dan sulit bagi perempuan untuk menembus barikade yang sudah sangat kuat tersebut. Dalam situasi seperti itu, perempuan yang terjun dibidang politik harus mengahadapi tantangan yang jauh lebih berat dari rekan-rekannya, yakni politisi laki-laki. Selain harus berkompetisi dengan kaum laki-laki di dunia yang menjadi domain laki-laki, perempuan juga masih diharapkan untuk memerankan peran-peran yang secara gender telah ditetapkan sebagai peran perempuan. Lebih berat lagi, perempuan yang memasuki dunia politik atau dunia publik sering mendapat pandangan negatif dari masyarakat karena perempuan dianggap mengadopsi sifat-sifat dan peran laki-laki. Misalnya saja perempuan yang memasuki bidang politik mendapat label ambisius dan agresif, sementara laki-laki yang memiliki karakteristik yang sama jarang diberi label demikian, yang lebih parah lagi, dalam berkompetisi laki-laki lebih senang berkompetisi dengan sesama laki-laki masih ada kebanggaannya dan wajar, tetapi juka menang bersaing dengan perempuan tidak membanggakan sama sekali karena dianggap sudah seharusnya menang, dan jika kalah malah aneh. Demikian pula jika dikalahkan sesama laki-laki, mereka menganggap permainan fair,tetapi jika dikalahkan oleh perempuan mereka menganggap dipermalukan dan menuduh ada permainan yang tidak fair. Ujung-ujungnya menuduh berbagai hall negatif terhadap perempuan. Implikasinya, laki-laki menjadi “lebih jahat” ketika tahu lawan politiknya adalah perempuan.
Secara hukum dan peraturan memnag tidak ada aturan yang mendiskriminasikan perempuan atau laki-laki dalam hal partisipasi politik maupun partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Hak-hak polirik telah diatur pula dalam UUD 1945 pasal 27, bahkan pemerintah juga telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Semua itu memperlihatkan komitmen pemerintah untuk menciptakan keadilan dan kemajuan bagi perempuan. Namun, semua kata-kata itu hanya indah tertuang dalam teks, belum dapat terwujud seperti yang diharapkan. Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi perempuan selain harus aktif berpartisipasi dalam politik dan pengambilan keputusan untuk dapat mengubah kondisis, yang saat ini banyak mereka hadapi berupa keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemiskinan. Perlu untuk meningkatkan jumlah perempuan dalam proses pengambilan keputusan di bidang politik, yang ditujukan agar perempuan tidak hanya dilihat sebagai objek, yang keberadaanya dan kepentingannya ditentukan oleh pihak-pihak diluar dirinya.
Untuk tujuan itu, lebih banyak calon dari kandidat perempuan harus dipilih dan proses rekruitmen yang objektif harus dilaksanakan, guna mencegah diskriminasi terhadap perempuan. Pada situasi seperti sekarang ini, di mana partisipasi perempuan dalam politik sangat minim, ada baiknya diterapkan sistem kuota. Sistem kuota dapat dijadikan langkah awal untuk menciptakan critical numbers politisi perempuan. Dengan sistem ini, perempuan dapat dipilih berdasarkan sistem proporsional jumlah mereka. Hal ini sangat diperlukan, mengingatatnya dengan cara tersebut perempuan secara potensial dapat mengisi kedudukan-kedudukan dalam institusi pengambilan keputusan. Logikanya hanya dengan jumlah perwakilan yang cukup besar kepentingan mereka dapat diperjuangkan.
Sayangnya, “cinta politik tidak sama dengan logika”. Kenyataan yang terjadi ketika sistem kuota yang diterapkan semua partai tidak bisa memenuhi ketentuan kuota 30%, dengan berbagai alasan. Misalnya, tidak ada calon perempuan yang berkualitas, akhirnya seadanya, maka penetapan tetap pada nomor urut sepatu sehingga tidak terpilih. Calon yang berkualitas biasanya sudah mapan pada institusi atau lembaga pemerintah, yang harus memilih antara politik atau PNS sehingga banyak perempuan yang bisa ambil resiko terhadap mas depannya. Banyak kasus terjadi, sudah terlanjur keluar dari PNS toh nyatanya juga ditaruh di nomor urut sepatu, akhirnya tidak terpilih dan nasibnya terkatung-katung. Padahal, ketika kampanye perempuan dijadikan vote gather dan sangat mengguntungkan dalam hal peroleh suara, namun kenyataan politik tidak selalu sesuai dengan logika.
Perempuan juga harus diyakinkan bahwa mereka harus bersedia memajukan dirinya sebagai kandidat karena tanpa partisipasi penuh dari perempuan cita-cita untuk kemajuan perempuan tidak akan tercapai. Persoalannya, teryata tidak hanya pada “mau”dan ”tidak mau”. Kandidat perempuan yang maju mencalonkan diri atau dicalonkan juga harus “jatuh bangun” dan “habis-habisan” untuk melakukan kampanye. Jika tidak mempunyai modal besar, tampaknya sulit mewujudkan impian. Terlepas dari beberapa tantangan, kendala, kekurangam, kelebihan, pro dan kontra tentang perempuan dalam politik, kenyataan yang harus kita hadapi adalah kita harus mau dan mampu mendekontruksi image sehingga lahir konstruksi image baru sosok perempuan dalam politik. Hal ini akan dapat terwujud manakala mendapat dukungan institusi dan dukungan pemilih.
Sistem kuota memang menjadi alternatif paling dekat yang dapat dijalankan, namun kenyataannya toh, tidak terpenuhi juga. Apakah kita harus menunggu sampai terpenuhinya kuota baru. Kita dapat menyuarakan aspirasi, keinginan, dan kebutuhan perempuan? Bagi saya, yang penting bukan persoalan laki-laki atau perempuan, bukan persoalan jumlah dan jenis kelamin. Mulailah sekarang juga. Untuk apa mengumpulkan banyka poerempuan, tetapi mereka tidak sadar akan kebutuhan perempuan, lebih baik mengumpulkan banyak orang entah laki-laki entah perempuan yang penting sensitif gender dan menyuarakan aspirasi perempuan.

Baca Juga:  Pesan Serda Eko dalam patroli malam bersama Linmas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *