Detikkasus.com | MIRIS satu kata yang menggambarkan keadaan Indonesia saat ini. Banyak berita mulai dari online, cetak ataupun televisi yang menayangkan adanya bentrok masyarakat sipil dengan aparat keamanan. Sedih, kecewa, menangis dan tidak karuan yang dirasakan oleh penonton berita tersebut.
“Mengapa hal ini bisa terjadi ?”
Berawal dari pencalonan Presiden dan Wakil Presiden 2019 yang tercipta 2 kubu yaitu nomor urut 01 diisi oleh Jokowi-Ma’ruf dan nomor urut 02 diisi pasangan Prabowo-Sandi. Kedua Capres sudah bersaing dari Pemilu tahun 2014, dan pada tahun itu yang memenangkan adalah pasangan Jokowi-Kalla. Berbagai macam cara dilakukan oleh masing-masing kubu, untuk menjadi orang nomor 1 di Indonesia ini selama 5 tahun kedepan. Namun suasana menjadi semakin panas, mulai munculnya berita hoax yang memberitakan kedua paslon. Banyak drama-drama yang mulai menyudutkan salah satu paslon. Semua hal selalu dikaitkan dengan Pilpres 2019, tak terkecuali semua kegiatan aparat pemerintahan. Namun pada tahun ini Indonesia menciptakan sejarah baru, yaitu untuk pertama kalinya Pemilu legislatif dengan Pemilu Presiden digabungkan dalam satu waktu, sesuai dengan putusan MK No.14/PUU-XI/2013 tanggal 24 Januari 2014, yang memerintahkan penyelenggaran Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden serentak pada Pemilu 2019. Hal ini menjawab darri banyaknya masyarakat yang merasa dirugikan hak politiknya dan terbuang banyak waktu karena harus datang dua kali ke TPS untuk memberikan suaranya dalam Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 42 Tahun 2008 tentang pemilu presiden.
17 April 2019, hari yang ditunggu-tunggu oleh kedua paslon dan juga calon legislatif telah tiba. Semua masyarakat Indonesia ikut ambil dalam kemeriahan Pemilu 2019. Indah rasanya melihat masyarakat datang berbondong-bondong ke TPS untuk memberikan hak suaranya untuk menentukan pemimpin negeri ini dalam 5 tahun kedepan meskipun ada beberapa yang tidak dapat atau belum bisa memberikan hak suaranya.
Hasil dari Pemilu 2019 berdasarkan quick count dari beberapa lembaga survei memenangkan paslon 01, yang mengakibatkan suasana pesta demokrasi semakin memanas. Tidak hanya kedua paslon saja yang memanas tetapi juga para pendukung dua paslon yang masing-masing mengaku unggul dalam hasil quick count. Namun pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pemilu 2019 sudah menegaskan bahwa hasil quick count bukan hasil atau pengumuman resmi, karena untuk menghitung suara dari masing-masing TPS sejumlah 800 ribuan yang tersebar 34 provinsi dan 514 kabupaten yang memerlukan banyak waktu, apalagi pada tahun ini double pemilu. Namun hasil quick count juga tidak boleh dikesampingkan sebab lembaga-lembaga survei pembuat quick count dipastikan dapat mempertanggungjawabkan secara metodologis sesuai kaidah ilmiah.
KPU telah memberikan amanat kepada Undang-Undang bahwa pengumuman hasil pemilu akan diumumkan paling lambat 35 hari setelah pemilu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 (tentang Pemilu) Pasal 413 ayat (1). Dan hanya KPU yang berhak mengumumkan hasil dari pemilu seperti yang tertuang dalam pasal 13 huruf d, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa: “KPU berwenang: menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi perghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU provinsi untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dan untuk Pemilu Anggota DPR serta hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU provinsi untuk pemilu Anggota DPD dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara. Rekapitulasi suara KPU akhirnya diumumkan pada 21 Mei 2019 satu hari lebih cepat dari jadwal semula yang akan diumumkan pada tanggal 22 Mei 2019. Dari hasil rekapitulasi suara oleh KPU mengumumkan bahwa yang memenangkan dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah paslon nomor urut 01 yaitu pasangan Jokowi-Ma’ruf. Namun dari hasil pengumuman KPU ada beberapa pihak yang tidak puas, mereka mengatakan adanya kecurangan dalam Pemilu 2019. Sehingga sebagian masyarakat yang tidak puas berbondong-bondong datang ke Jakarta untuk menuntut kepada KPU, Bawaslu dan Presiden atas ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pemilu 2019. Sehingga 22 Mei 2019, merupakan sejarah bagi bangsa Indonesia. people power itulah yang mereka sebut. Tetapi sangat disayangkan, people power tersebut berakhir bentrok dengan aparat keamanan yang mengakibatkan banyak kerusakan fasilitas umum dan juga korban jiwa.
“Namun benarkah itu suara asli rakyat atau hanya untuk sebuah kepentingan sebelah pihak semata?”
“Sekarang siapa yang patut disalahkan?”
“Rakyat?”
“Atau penguasa?”
“Bukankah Indonesia negara hukum ?”
Indonesia adalah negara hukum yang semua hal sudah diatur di Undang-Undang bukan sebuah negara yang diatur oleh para penguasa, yang kuat akan menang.
“Apakah ada hal yang lebih penting dari kerukunan dan kedamaian negara tercinta ini?”
“Kekuasaan politik?”
Atau menginginkan bangsa Indonesia terpecah belah menjadi 2 kubu yang saling menyalahkan dengan argument mereka masing-masing, itu yang diinginkan?
“Tidak”
“Kemudian, apa?”
Bukankah tadi sudah dikatakan negara ini adalah negara hukum, apabila jika pendukung paslon tidak puas dengan hasilnya bisa mengajukan melalui Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga tertinggi dalam proses peradilan di Indonesia. Sehingga pendukung paslon yang tidak puas tinggal menyerahkan bukti-bukti dan gugatannya tanpa terlibat dengan kekerasan fisik yang mengakibatkan banyak kerugian. Masyarakat juga harus lebih cermat lagi agar tidak terhasut oleh berita hoax yang ada, yang akan mengancam kedaulatan NKRI. Indonesia adalah negara hukum yang semua hal sudah diatur di Undang-Undang bukan sebuah negara yang diatur oleh para penguasa, yang kuat akan menang.