Detikkasus.com | Sempat beredar berita di dunia maya untuk mengatasi wabah ini dengan cara membiarkan virus ini menyebar dan menyerang siapapun sampai terbentuk herd immunity. Metode ini juga sempat akan dilalkukan oleh pemerintahan ingggris. Untuk gambaran Herd immnunity (kekebalan kelompok) ini biasanya digunakan ketika sejumlah besar anak-anak terlah divaksinasi terhadap penyakit seperti campak,yang diharapkan dapat mengurangi kemungkinan orang lain terinveksi.
Sadar atau tidak metode ini diam-diam sudah dilakukan secara perlahan oleh Indonesia sejak awal virus ini masuk Indonesia. Pada saat itu Menteri kesehatan menyatakan bahwa virus ini “hanya” self limiting disease seperti common cold yang banyak menjangkit sepanjang tahun dan dianggap tidak membahayakan. Setelah penyataan menkes seperti itu muncul lagi dokter hewan yang mengaku sebagai pakar virus yang sempat diwawancarai media massa dan artis yang kemudian viral, menganjurkan agar virus corona ini tidak perlu ditakuti dan biarkan saja menginfeksi masyarakat dengan alasan supaya herd immunity terbentuk secara alami, dengan asumsi data global fatality rate virus ini rendah hanya 3%
Tapi dilain sisi pernyataan semacam ini sangat membahayakan,seperti tidak memahami dasar statistic.
Beberapa fakta yang harus diperhatikan untuk menyanggah pernyataan ini:
1. Herd immunity butuh mayoritas masyarakat terinfeksi
Untuk measles saja, WHO mengestimasi butuh 93-95% untuk imun [5].
Sedangkan para ahli memprediksi untuk corona virus yang persebarannya tidak secepat measles butuh 70% yang imun:
Taruh kata, untuk corona virus di negara kita butuh terbentuk minimal 60% dari populasi masyarakat yang imun.
Artinya, jika ada 270 juta masyarakat Indonesia, untuk terbentuk herd immunity butuh 60% x 270 juta = 162 juta jiwa minimal harus terinveksi virus ini. Dari 162 juta jiwa, berarti ada 3% yang meninggal, yaitu sekitar 3% x 162 juta = 4.860.000 orang alias hampir 5 juta orang ‘harus dikorbankan’ untuk meninggal! Itu jumlah yang sangat besar !
Jadi jangan cuma lihat angka 3% saja! 3% dari seberapa banyak?
2. Perhitungan fatality rate sebenarnya bisa berubah tergantung sikon, bisa lebih besar di beberapa daerah, apalagi jika mobilitas tinggi. Di Wuhan dan Italy yang ketika awal wabah fatality ratenya lebih dari 8% (sama dengan kondisi Indonesia saat ini). Bahkan Wuhan saja di bulan February fatality ratenya mencapai 12,2% [1]
Jadi jangan hanya melihat fatality rate yang dipandang hanya 3% saja, tapi lihat kecepatan persebarannya yang jika dibiarkan bisa menginfeksi hampir seluruh populasi. Maka angka 3% dari jumlah yang banyak tetaplah banyak.
Bandingkan dengan MERS dan SARS yang fatality ratenya lebih tinggi 34% dan 10%, tapi ‘hanya’ mengakibatkan 858 dan 774 orang saja yang meninggal dunia, karena persebaran virusnya tidak secepat SARS-cov2 ini. Korban meninggal virus corona kali ini jauh lebih tinggi dari gabungan korban MERS dan SARS [3], padahal wabah belum selesai.
3. Kemungkinan virus corona punya kemungkinan bermutasi menjadi lebih ganas
4. Prosentase yang parah hingga komplikasi mencapai 20%
Dan dokter hewan tersebut melupakan fakta lain yang tidak kalah penting yang tidak pernah dia sebut, meski fatality rate kisaran 3% tapi prosentase komplikasi hingga kerusakan organ yang butuh dirawat intensif dengan bantuan alat modern sekitar 20% [4].
Artinya 20% x 162juta jiwa = 32,4 juta orang perlu dirawat di RS. Jumlah ini tidak akan sanggup dipenuhi oleh fasilitas medis di Indo. Apalagi dengan beban hutang BPJS yang membengkak. Tentu saran ini sangat tidak masuk akal, bahkan di Inggris sendiri saat bahasan penundaan social distancing hingga lockdown, beberapa professor dan akademi dari universitas di Inggris melakukan petisi online menolak kebijakan ini dan menekan pemerintah untuk segera bertindak [4].
Bahkan 501 saintis menandatangi petisi untuk mendesak pemerintah melakukan social distancing di Inggris ketika isu pembiaran wabah demi herd immunity alami bergulir [5].
Salah satu kampus terkemuka di Inggrispun membuat simulasi beban RS dalam menampung pasien virus corona jika persebaran virus dibiarkan begitu saja, hasilnya RS akan kewalahan menampung pasien (Lihat gambar grafik perbandingan antara beban RS ketika lockdown dan dibiarkan begitu saja) [2].
Bayangkan, ini negara dengan salah satu fasilitas kesehatan terbaik di dunia! Pada akhirnya Inggrispun mempertimbangkan masukan dari para ilmuwan di negerinya. Sehingga pada hari ini saya tidak hanya harus menikmati ‘social distancing’ tapi lockdown di London, kota dengan pusat perputaran ekonomi paling cepat di Inggris. Pemerintah Inggris dengan berat hati memberlakukan lockdown dengan kalkulasi kerugian ekonomi yang sebegitu besar masih jauh lebih rendah jika dibanding dengan kerugian jika menghadapi overload pasien apabila wabah dibiarkan.
5. Sampai sekarang belum bisa dipastikan apakah seseorang bisa terinfeksi virus corona lebih dari sekali.
Sejumlah laporan kasus di Wuhan, beberapa pasien yang pernah terinfeksi corona dan dinyatakan sembuh, beberapa waktu kemudian tetap bisa terinfeksi. Bahkan sejumlah laporan di Italy, dan USA menyatakan pasien yang terinfeksi virus corona dan butuh perawatan intensif di RS tidak hanya yang tua, tapi 20% justru mereka di rentang usia produkstif 20 – 44 tahun.
Sedangkan di Indonesia Pemerintah dan rakyatnya belum bisa sejalan. Dari pemerintahnya terkesan kurang tanggap,ilmuan, dan akademisinya semakin membuat bingung masyarakat dengan menyebar luaskan hasil penelitian level awal yang seharusnya hanya menjadi konsumpi peneliti
Sedangkan masyarakatnya sendiri, dihimbau untuk mengisolasi diri malah jalan-jalan ke sana kemari menghadiri hajatan,pergi kewarung kopi dll, seolah tidak menggubris himbauan dari pemerintah.