Detikkasus.com | Saya hanya bisa menjelaskan sejauh ini istilah “rivalitas” dengan melihat dari apa yang dikatakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Memang, sangat sulit sekali dalam mengartikan makna kata tersebut. Pada akhirnya, setelah tidak mendapatkan referensi, kita akan menganggap KBBI sebagai sebuah kitab suci yang dengan apa saja yang ada di sana sebagai hal yang harus dipercaya dan diyakini. Bahkan seringkali dijadikan sesuatu yang bersifat dogmatis. KBBI, setidaknya menyebutkan arti “rivalitas” ke dalam beberapa hal, yaitu; perihal rival; pertentangan; permusuhan; dan persaingan.
Setidaknya, dalam kamus di dunia persepakbolaan, kata “rivalitas” sangat sering sekali digunakan. Penggunaan tersebut berakar pada dua kesebelasan yang terdefinisi dari: persaingan antara kesebelasan yang satu dengan yang lainnya, sejarah berdiri masing-masing kesebelasan, jumlah trofi yang telah didapatkan, loyalitas kelompok pendukungnya, hingga catatan-catatan paling terbaik ataupun paling buruk yang pernah diukir dari pertemuan yang telah dilakukan kesebelasan-kesebelasan tersebut. Imbasnya, muncullah kata baru yakni “musuh bebuyutan” menjadi frasa yang melekat dalam pemahaman “rivalitas” itu sendiri.
Sampai kapankah kita memaknai “rivalitas” dengan terus-menerus mendangkalkan otak? Rivalitas pada akhirnya hanya bermuara pada kesebelasan yang satu akan selalu bertentangan dengan kesebelasan rivalnya, para kelompok pendukung kesebelasan yang satu akan selalu bertentangan dengan kelompok pendukung kesebelasan rivalnya, hingga pelatih maupun ofisial kesebelasan yang satu selalu bertentangan dengan pelatih maupun offisial kesebelasan rivalnya.
Sikap tersebut hanyalah emosi semata, suka menyulut kemarahan, pertengkaran, saling mengancam, bertindak subversif, maupun bersikap semena-mena. Dari kesemuanya itu membuat kita lupa satu hal yaitu: aspek kemanusiaan. Apakah kebencian-kebencian yang dihasilkan dari kesalahan dalam menafsirkan istilah “rivalitas” ini akan terus kita pupuk? Sampai kapankah kita tidak mau belajar dari perihal maupun sikap-sikap bodoh yang pernah kita lakukan dengan mengatasnamakan “rivalitas”? Ataukah memang, inilah yang banyak terjadi di persepakbolaan kita dalam memandang istilah “rivalitas”?
Namun demikian, rivalitas antar suporter, pemain, dan offisial itu pasti ada disetiap pertandingan sepak bola yang dilaksanakan. Tetapi rivalitas itu hanya berlaku 90 menit dilapangan, setelah itu kita teman atau saudara di luar lapangan tersebut. jangan jadikan sepak bola sebagai ladang permusuhan namun untuk mencari saudara atau teman baru.
Rivalitas yang terjadi di Indonesia ini sangat banyak sekali, tetapi ada 4 basis suporter terbanyak dan terpanas di indonesia yakni Aremania, Thejack, Bonek, dan Viking. Ke empat suporter tersebut jika ada timnya main salah satu suporter tim tamu dilarang keras untuk datang ke kandang tim tuan rumah, dikarenakan faktor keamanan. Jika suporter tamu memaksakan hadir pasti ada kejadian tawuran antar suporter dan bisa sampai hilangnya nyawa para suporter yang terlibat.
Pada artikel ini saya akan lebih membahas rivalitas antara aremania dan bonek yang terus terjadi sampai sekarang ini. Dan pada waktu ini sedang ramai diperbincangkan oleh media massa dan media cetak karena tim kesebelasan mereka bertemu di babak final Piala Presiden 2019. Kata-kata dari berbagai media massa dan media cetak itu seperti “ujian kedewasaan aremania dan bonek” dan “Bonek dilarang ke Malang dan Aremania tidak boleh ke Surabaya” dari kata kata tersebut seakan akan masih adanya trauma atau ketakukan dari masyarakat dan pihak keamanan akan terjadi tawuran dan hilangnya nyawa. Apakah rivalitas kedua kubu akan terjadi sepanjang masa? Apakah akan bisa meredam dengan sendirinya?.
Rivalitas kedua suporter tersebut itu dikarenakan pada Tawuran saat ada konser di Tambaksari. Kejadian pertama bermula saat ada konser Kantata Takwa di Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990. Tepat sekitar 30 menit pertama saat konser dimulai, di depan panggung mulai ‘dikuasai’ arek-arek Malang. Mereka bersorak meneriakkan “Arema.. Arema.. Arema..”. Arek-arek Surabaya yang kebetulan menjadi tuan rumah pun harus minggir dan ‘terkalahkan’. Namun tidak lama kemudian, arek-arek Surabaya kembali dengan membawa rombongan lebih banyak lagi dan berusaha ‘memukul mundur’ arek-arek Malang hingga keluar dari Tambaksari. Di luar stadion, tawuran pun tak terelakkan dan terus berlanjut sampai di Stasiun Gubeng, Nawak. Tawuran serupa juga kembali terjadi di bulan Juni 1992 pada konser Sepultura yang kebetulan juga diadakan di Tambaksari. Saat itu, arek Surabaya sudah siap menguasai depan panggung mulai awal. Arek Malang bahkan langsung dihalau begitu masuk Tambaksari. Tak lama kemudian, tawuran pun kembali terjadi.
Tujuan dalam artikel ini dibuat agar para kedua suporter dapat memahami dan menjadikan pembelajaran agar tidak ada terjadi tawuran dan hilangnya nyawa. Rivalitas tersebut dapat direda jika kedua supoter melihat sejarah masa lalu yang mereka mempunyai persaudaraan yang sangat kental sekali karena mereka, Pemuda Malang 74 tahun lalu tanpa diminta, berbondong-bondong ke Surabaya bukan untuk menggruduk pemuda Surabaya, melainkan membantu lahir batin warga Surabaya melawan kedatangan pasukan sekutu dengan nyawa sebagai taruhannya. Begitu pula ketika agresi militer Belanda II di Malang, 21 Juli 1947 lalu, warga Surabaya dengan sukarela ke Malang berjuang melawan Belanda.
Seharusnya persetruan kedua belah suporter itu bisa mereda dan damai, jika kita melihat sejarah tersebut pasti kita akan berpikir dua kali. Padahal Surabaya dan Malang itu kota yang jaraknya dekat hanya membutuhkan 2 jam perjalanan dari surabaya-malang dan begitu sebaliknya. Kebanyakan juga warga malang bekerja di Surabaya. Dan warga surabaya kebanyakan berlibur di Malang setiap hari libur. Rivalitas antara Arema dan Persebaya hanya terjadi di lapangan hijau, sehingga pertandingan bisa dinikmati dengan sebaik mungkin dan seseru mungkin. Dan apakah rivalitas antara aremania dan bonek akan terjadi sepanjang masa?
Oleh : Nazarudin Arzani
NIM : 201810230311220