Penulis : Dian Febrianti dari Universitas Muhammadiyah Malang Fakultas Psikologi.
Detikkasus.com | Indonesia, Negara yang dikenal akan ketoleransinya di mata masyarakat dunia. Bagaimana tidak? Indonesia mengakui enam agama sebagai agama yang resmi dalam negara yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Agama adalah unsur paling penting di Indonesia. Indonesia damai, aman dan sejahtera karena toleransinya. Namun, bagaimana jadinya pada zaman sekarang? Apakah masih berlaku?
Dalam kehidupan beragama, perbedaan tidak jarang menyulut beberapa konflik di masyarakat.
Banyak sudah provokator yang ingin menghancurkan kedamaian negeri ini. Apalagi dengan datangnya sosial media, semakin mudah untuk mempengaruhi orang-orang agar terpancing.
Seperti kejadian di Tangerang, Banten. Dalam video yang beredar, seorang biksu membacakan surat perjanjian yang sepertinya di paksa masyarakat yang beragama ‘mayoritas’ setempat agar tidak lagi beribadah di tempat tersebut karena dapat mengganggu mereka, kemudian kejadian di tempat lain misalnya, tidak di perbolehkannya pembangunan gereja di area warga beragama mayoritas dengan alasan yang sama, dapat mengganggu ketenangan dan aktivitas warga lain. Dan yang terbaru saat ini adalah kejadian kepada Slamet, yang di tolak tinggal di Bantul kerena non-muslim, karena ada persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan (Dusun) Karet. Dalam surat itu disebut pendatang baru yang hendak tinggal di Dusun Karet harus Islam. Persoalan itu kemudian didengar dan disayangkan oleh Bupati Bantul Suharsono. Ia menilai, larangan warga non-muslim tinggal di wilayah itu adalah aturan yang keliru dan sudah diakui oleh Kepala Dusun setempat.
Toleransi beragama adalah sikap saling menghargai orang lain yang memiliki agama atau pemahaman agama yang berbeda. Tetapi bagaimana dengan contoh kejadian di atas? Hal ini sangat tidak sesuai dengan bunyi Pancasila sila ke-satu yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” dan sila ke-tiga “Persatuan Indonesia”. Dan juga ada di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 E ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Kemudian dalam Pasal 28 J ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara”
Lantas, apakah masyarakat tahu akan pasal seperti ini?
Zaman sekarang, orang yang melakukan kekerasan, perilaku menyimpang, dan melakukan provokasi negative adalah orang yang mengaku beragama. Menurut psikologi, kondisi ini disebut dengan ketidak matangan dalam beragama. Dalam jurnal yang berjudul Konsep Toleransi dalam Psikologi Agama oleh Roni Ismail, disebutkan beberapa perilaku orang ketidakmatangan beragama berikut ini : pertama, hilangnya saling menghargai dan menghormati terhadap yang berbeda dari diri sendiri. Kedua, hilangnya kerendahan hati antar sesama dengan mengedepankan ego masing-masing. Ketiga, tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas/kebaikan. Keempat, terinjak-injaknya nilai manusia dan kemanusiaan dengan saling menyakiti dan membunuh. Dan terakhir yang kelima, butanya hati para pelaku.
Untuk kejadian seperti ini, perlunya kematangan dalam beragama dalam bukunya Normative Psychology of Religion Henry Nelson Wieman dan Regina Westcott Wieman menguraikan kriteria agama matang sebagai berikut. Pertama, hidup yang bermanfaat secara kemanusiaan. Kedua, loyalitas yang sempurna. Ketiga, efisien dalam mencapai tujuan. Keempat, hidup berdasarkan dan sensitive dalam memandang nilai. Kelima, loyalitas yang terus tumbuh. Keenam, loyalitas sosial yang efektif. Kemudian, hendaknya kaum pemuda dihindarkan dari sikap intoleran.
Bibit toleransi kaum muda seperti dikemukakan para psikolog sosial dan ilmuwan sosial dapat sekurang-kurangnya disebabkan karena empat hal utama; Pertama, soal kesiapan mental yang belum matang, sehingga anak anak muda gampang terpengaruh oleh hal-hal yang disampaikan dari orang yang dianggap lebih tua, lebih pintar, serta lebih “berkuasa” dalam hal keagamaan. Mental kaum muda pendeknya masih mencari figur siapa yang akan dijadikan “pedoman” dalam kata-kata dan hidup. Kedua, ketimpangan politik yang memunculkan spekulasi bahwa kaum muda kurang mendapatkan akses memadai padahal mereka menjadi tulang punggung politik seperti di Indonesia. Kondisi seperti ini membuat kaum muda kecewa pada negaranya. Ketika kecewa dan mendapatkan siraman kebencian maka yang muncul adalah kebencian pada salah satu agama tertentu padahal yang berpolitik di Indonesia bukan hanya salah satu agama. Ketiga, persoalan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering dikatakan oleh para ahli ekonomi politik dan sosiolog menjadi bibit paling subur munculnya intoleransi dan kekerasan. Disebabkan karena hidup susah yang diderita, pekerjaan sulit didapatkan dan pengangguran menunggu di depannya, ketika ada sekelompok atau seseorang menyiramkan bibit kebencian dan masuk surga segera tanpa basa-basi mereka kaum muda mengikutinya. Keempat, masalah pemahaman teks keagamaan. Ini merupakan produk lama yang senantiasa direproduksi oleh para pemberi “mandat terror” dan para “mandat intoleransi” bahwa agama kita mengajarkan untuk jihad dengan fisik yakni mati sebagai martir atau mati di sebuah ujung pedang, mati disebuah granat atau bom Molotov. Semuanya dianggap sebagai jihad yang sesungguhnya maka tak segan anak-anak muda yang masih kurang paham agamanya segera melaksanakan. Dan hendaknya kita sebagai makhluk sosial, harus menghargai perbedaan satu sama lain tanpa adanya tindakan negatif yang malah merugikan semua orang. Dan juga jangan mudah terpengaruh dengan doktrin ekstrimis yang beredar di masyarakat saat ini. Kita sudah di zaman modern yang mana teknologi sudah canggih dan pintar dan harusnya harus bisa memilah informasi-informasi yang beredar di media sosial, masa dengan mudahnya terpengaruh oleh provokator intoleran yang beredar di media sosial?