Oleh : Bisma Taruna Fitriawan
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Malang
Detikkasus.com | Salah satu fenomena yang selalu muncul menyertai proses pelaksanaan pemilu di Indonesia adalah fenomena politik uang (money politic atau vote buying). Jika dilihat lebih jauh lagi, fenomena politik uang ini bukan hanya khas Indonesia.
Menurut para ahli politik dan ketatanegaraan, money politics atau vote buying hampir terjadi di semua negara terutama negara-negara berkembang yang baru memulai proses demokratisasi.
Terjadinya proses penyebaran rezim demokrasi di negara-negara berkembang telah turut juga berkontribusi pada maraknya money politics. Tujuan diadakannya pemilu di Indonesia yaitu, Pertama, memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis.
Kedua, mewujudkan Pemilu yang adil dan berintegritas. Ketiga, mewujudkan Pemilu yang efektif dan efisien. Politik uang, jelas tidak dapat memperkuat sistem ketatanegaraan karena demokrasi dibajak melalui korupsi elektoral.
Namun, bagaimana cara untuk meminimalisasi terjadinya politik uang mengingat maraknya fenomena seperti ini sering terjadi?
Pertama, karena praktik money politic telah menjadi penyakit yang sangat akut dan menjadi ancaman paling serius bagi keberlangsung proses demokratisasi di Indonesia maka diperlukan adanya kebijakan untuk membebankan sanksi pidana hanya bagi pemberi money politic saja.
Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam kondisi darurat money politic seperti saat ini, akan menjadi sangat sulit bagi aparat penegak hukum untuk memperoleh bukti-bukti terjadinya praktik money politic kalau yang memberi dan yang menerima sama-sama diancam hukuman.
Akan lebih mudah jika yang dikenai sanksi dan hukuman hanyalah pemberi saja. Harapannya, dengan hanya menjerat orang yang memberi money politic, maka tidak akan ada ketakutan lagi bagi masyarakat untuk melaporkan praktik money politic yang dilakukan oleh para caleg maupun parpol. Hal ini sekaligus untuk memutus mata rantai simbiosis mutualisme di atas.
Kedua, tindakan sebagian masyarakat yang menentukan pilihannya dalam pemilu berdasarkan pada besaran uang yang diterimanya disebabkan oleh kurang dikenal dan minimnya kemampuan para calon anggota legislatif.
Sehingga bagi sebagian masyarakat, memilih siapapun dalam daftar calon dianggap tidak ada bedanya karena masing-masing calon tidak punya hubungan atau relasi sosial yang baik dengan konstituen.
Keadaan ini salah satunya disebabkan oleh penerapan sistem proporsional dalam pemilu. Sebagaimana diketahui, pada sistem proporsional, dalam satu dapil akan dipilih beberapa calon bukan hanya satu calon.
Ketiga, semakin berkembangnya sikap rasional para pemilih terutama rasional secara materi sehingga money politics menjadi lebih meluas dan perilaku pemilih cenderung mengarah pada munculnya transaksi material yang bercorak jangka pendek dan sesaat bukan pada transaksi kebijakan antara para wakil dengan terwakil, salah satunya disebabkan oleh terlalu seringnya para wakil melupakan janji-janji politiknya setelah mereka meraih kursi kekuasaan.