Detikkasus.com | Pesta demokrasi di Indonesia digelar di tahun 2019, dan sudah dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019.
Akhir-akhir ini, kembali lagi sebuah berita yang pada awalnya sudah menjadi kontoversi tentang adanya berita hoax di pra pemilu dan sekarang pasca pelaksanaan pemilu telah mengguncangkan masyarakat Indonesia dengan adanya berita Aksi 22 mei yang berisikan narasi-narasi provokatif yang mengajak kelompok-kelompok masyarakat Indonesia untuk menolah hasil pemilu yang sudah disahkan oleh KPU.
Kandungan dari narasi-narasi tersebut terdapat berbagai macam-macam, mulai dari ajakan penolakan hasil perhitungan cepat (Quick Count) yang sedang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan maksud memprovokasikan masyarakat untuk menuntut agar salah satu dari pasangan capres-cawapres didiskualifikasikan bahkan sampai pada penggerakan massa yang secara efektif yang disebut dengan People Power untuk mengepung, menguasai dan menghancurkan KPU, Istana Negara, dan DPR RI.
Selain itu, ada ajakan lain untuk meakukan aksi kekerasan.
Dalam konteks keamanan negara, aksi ini bisa dikategorikan sebagai makar dimana seseorang telah menciptakan kerusuhan, kekerasan, teror hingga keresahan dikalangan masyarakat yang tidak mengikuti aksi tersebut. Aksi ini dianggap sebagai jihad konstitusi untuk melawan kecurangan pemilu. Aktor tersebut merupakan para pendukung Prabowi-Sandiaga untuk memprotes dugaan kecurangan dalam pemilu dan pilpres 2019. Dimana telah diperiksa bahwa yang menjadi provokator dalam aksi tersebut adalah orang bayaran.
Aksi tersebut terjadi adanya kontroversi antara aparat kepolisian yang dibantu oleh Front Pembela Islam (FPI) melawan pengunjuk rasa. Ketidakpuasan terhadap keputusan KPU, massa menjadi menggila dengan tindakan penghancuran dan kekerasan di berbagai tempat. Pemeriksaan kepolisian bahwa akar munculnya perantara antara provokator dengan massal adalah platform media sosial dan pesan instan. Maka pemerintah memutuskan untuk memberi pembantasan tehadap sebagian akses platform media sosial untuk membatasi penyebaran atau viralnya informasi hoax dalam beberapa hari.
Sehingga ketika medsos dimatikan dan media mainstream mendapat kebebasan, segala prasangka dan kekecewaan terhadap media semaakin kental. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi dan media massa merupakan alat untuk kontrol pemerintah sehingga media disebut dengan pilar keempat demokrasi.
Dengan kemunculan aksi ini sudah tercatat terjadi jatuhnya 8 korban jiwa dan ratusan luka-luka, tetapi jumlah korban yang banyak menjadi tolak ukur bagi masyarakat, meskipun tindakan aparat dan massa melakukan kekerasan akan tetapi sebagian menyalahkan para aparat yang tidak menghargai atau mengabaikan nilai kemanusiaan dan adanya tindakan represif sehingga tidak ada aspek keuntungan bagi polri dan massa yang saling menghancurkan.
Akan tetapi dilihat dari sudut pandang yang jelas, jika tidak ada aksi tersebut maka tidak akan terjadi berjatuhan jiwa meskipun dengan tujuan masyarakat hanya menginginkan penegakan kebenaran dan keadilan sehingga banyak masyarakat berpikir diperlakukan tidak adil dan dipersekusi, karena negara demokrasi mempunyai nilai-nilai kemanusian yang sangat tinggi. Oleh sebab itu, untuk mengusulkan ide tidak diharuskan melakukan tindakan aksi tersebut melainkan dengan cara yang baik contohnya mengirim opini kepada surat kabar sehingga bagi para korban yang tidak bersalah tidak akan terkena imbasnya.
Sehingga munculnya aksi ini berdampak negatif, dimana bangunan demokrasi yang selama ini berdiri kokoh sudah hancur dan melukai sayap demokrasi dengan tindakan segerombolan kutu yang telah menciptakan bom kecil terhadap benteng yang sudah kita bangun selama ini.
Demokrasi memberikan peluang yang luas kepada rakyat untuk berpartisipasi secara efektif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kebijakan publik serta persamaan bagi seluruh warga negara dewasa untuk ikut menentukan agenda dan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan agenda yang telah diputuskan secara bersama.
Maka bagi masyarakat tidak harus menyalahkan pemerintahan bahwa tidak semua tindakan yang dilakukan pemerintah berbuat senonoh akan tetapi kita sebagai masyarakat yang merupakan media pengamat gerak-gerik pemerintahan tidak diharuskan dengan cara pemberontakan seperti itu.
Dimana masyarakat saat ini sudah bisa memantau roda pemerintahan akan tetapi banyak yang salah paham terhadap pemerintah dengan tidak bisa membedakan info benar dengan hoax. Jika tidak adanya peran pemerintah dalam sebuah negara, maka jalannya sebuah negara akan berantakan.
Dan peran negara sendiri merupakan pengendalian dari masalah yang ada disebuah negara tersebut, dengan kata lain tidak semua kesalahan dalam kebijakan pemerintah dilakukan pemerintahan itu sendiri melainkan keegoisan masyarakat juga yang menjadi timbulnya perguncangan demokrasi.
Dengan tindakan tersebut akan merusak jati diri publik yang merupakan sebagai kontrol pemerintah.
Sehingga dengan kemunculan media sosial masyarakat akan mengetahui dunia politik yang selama ini berujung baik ataupun buruk, meski peran media sosial sangatlah tinggi ada beberapa yang benar tapi sangat banyak yang diputarbalikkan faktanya membuat orang yang tidak paham makin tenggelam dengan ketidaktahuan sebaliknya yang paham akan semakin antipati terhadap konten hoaks di media sosial. Dan media sosial tidak bisa dipungkiri bahwa tidak adanya dan tidak akan bisa mebuat pembatasan dalam konteks dalam media sosial tersebut karena saat ini media sosial sangtlah dibutuhkan.
Meskipun beberapa masyarakat berbeda pendapat dengan keputusan pemerintah dan melakukan tindakan yang merugikan negara, akan tetapi dilihat dalam aksi ini bahwa diperlukan seluruh elemen, politikus, pemerintah khususnya masyarakat selayaknya saat ini bergandeng tangan untuk menfokuskan membangun Indonesia yang lebih baik, termasuk mengadopsi ide-ide positif dari pengunjuk rasa karena dari pihak pendemo pun tetap ada sisi baiknya dan diperlukan melakukan pengadopsi terhadap massal oleh pemerintah.