Oleh : Erfan Afandi
Mahasiswa Sosiologi – Universitas Muhammadiyah Malang
Detikkasus.com – Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat.
Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-fase kehidupan sosial dari mulai fase teologis, metafisik dan positif. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan berbagai kejadian yang merugikan atau merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan mereka. Hal ini merupakan salah satu bentuk kecil korupsi di ranah sosial.
Jika demikian apakah manusia berperilaku menyogok kepada kekuatan yang berkuasa?, jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang individu itu tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia
Dengan demikian perilaku mengendalikan pihak yang menguasai melalui berbagai upaya pemberian atau sesajen telah menjadi bagian dari nilai kehidupan yang terjadi sejak dahulu, dan jika demikian maka bentuk bentuk korupsi yang terjadi ini bisa saja di rujukan pada budaya tersebut, sehingga masalahnya nampak jadi kompleks dalam konteks perkembangan dunia modern.
Namun demikian, hal yang jelas adalah bahwa korupsi yang terjadi dalam level manapun merupakan hal yang dapat menghancurkan nilai-nilai etika serta norma sosial dan nilai agama, sehingga dapat menjadi prilaku yang mengkorupsi budaya, dan ketika secara bertahap atau sekaligus diterima oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar, maka disitu telah terjadi korupsi budaya yang kemudian membentuk budaya korupsi.
Seperti contoh budaya many politik yang sampai saat ini masih menjadi masalah besar karena budaya atau kebiasaan yang di ulang-ulang saat proses kapanye dengan memberikan uang sogokan agar untuk mau mencoblos atau memilih calon pasangan yang memberikan uang atau hal lain.
Dengan demikian jika pun benar ada budaya korupsi, maka itu sebenarnya terjadi karena korupsi budaya akibat makin lemahnya kontrol sosial/pengabaian terhadap upaya mementingkat pribadi diatas kepentingan publik pada saat mereka mempunyai kedudukan/jabatan atas mandat publik baik langsung maupun tak langsung .
Alasan yang tidak benar untuk tidak membasmi korupsi adalah karena korupsi ada dimana-mana, di Jepang, di Belanda, di Amerika Serikat.
Tidak ada yang dapat dilakukan untuk membasmi sesuatu yang menjadi wabah, korupsi sudah sejak dulu.
Seperti dosa, korupsi adalah bagian dari pembawaan manusia.
Tidak ada yang dapat dilakukan mengenai hal itu, konsep korupsi kabur dan tergantung pada budaya.
Dalam beberapa budaya perilaku yang kita anggap menyimpang dianggap biasa.
Memerangi korupsi berbau imperialisme budaya, membersihkan masyarakat kita dari korupsi akan memerlukan perubahan besar dalam sikap dan tata nilai.
Langkah pemberantasan korupsi yang harus dilakukan antara lain Presiden sebaiknya menegaskan proklamasi anti korupsi, untuk menjadi baju hukum proklamasi anti korupsi maka presiden mengeluarkan Perpu Pemberantasan Korupsi sehingga di dalam Perpu dapat ditegaskan fokus pemberantasan korupsi kepada dua reformasi: birokrasi dan peradilan, kosentrasi pada reformasi birokrasi dan reformasi peradilan adalah wujud pemberantasan korupsi secara preventif dan represif, mencari bukti-bukti tak terbantahkan untuk menjamin ujung putusan adalah kemenangan cepat, pemberantaan harus fokus kepada koruptor kakap, senjata perang melawan korupsi harus diarahkan aparat keamanan dan pertahanan, memerangi korupsi di episentrum kekuasaannya, pemberantasan korupsi harus dikuatkan jaringannya ke semua lini baik aparat penegak hukum, akademisi, maupun mahasiswa. Disamping itu, membutuhkan kepemimpinan yang kuat guna menumbuhkan budaya kembang zero tolerance to corruption
Korupsi telah menjadi budaya yang mendarah daging di negeri kita tercinta ini, Indonesia. Sebagai negara yang menggunakan adat dan budaya ketimuran yang sangat menjunjung tinggi nilai – nilai moralitas dan kejujuran, sangat miris rasanya bila mengetahui bahwa negara ini menempati posisi 2 sebagai negara terkorup di Asia pasifik menurut survei The World Justice Project.
Mengapa korupsi dapat tumbuh subur di Indonesia? Ada banyak penyebabnya.
Salah satunya ialah kesejahteraan masyarakat yang kurang, hal ini disebabkan oleh gaji dan pendapatan yang rendah dan mental orang Indonesia yang ingin cepat kaya tanpa mau berusaha dan bekerja keras.
Sebagai contoh UMR yang ada di sebagaian provinsi masih sangat kecil misalnnya provinsi Jawa Timur.
Kabupaten Kediri Rp 2.033.504,99, Kabupaten Lumajang Rp 1.982.295,010, kabupaten Madiun Rp 1.954.705,75, kabupaten Ponorogo Rp 1.938.321,73, Kota Malang Rp 2.970.501,73.
Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang Rp 2.810.025, Kota Magelang Rp1.914.000, Kabupaten Brebes Rp 1.866.722,90, Kabupaten Sragen Rp 1.829.500
Dengan rincian gaji UMR di sebagian provinsi tersebut terbilan cukup minim di banding kebutuhan pokok kehidupan sehari-hari belum lagi kebutuhan untuk mencukupi keluarganya semisal ada keluarga yang membiayai anaknya sekolah ataupun kuliah hal tersebut sangat minim. Budaya di Indonesia sendiri yang masih money oriented menyebabkan banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan uang tanpa memikirkan halal haramnya. Ditambah lagi sistem birokrasi Indonesia yang merupakan warisan budaya kolonial Belanda yang rumit membuka celah-celah bagi orang-orang yang ingin melaksanakan praktik korupsi.
Apalagi kini nilai-nilai agama yang semakin luntur membuat banyak orang mudah tergiur dengan praktik korupsi.
Hal penting yang dapat ditarik dari budaya korupsi yang terus menerus berkembang di Indonesia antara lain, karena: kekuasaan yang terbatas di tingkat atas, tidak ada kemauan di tingkat atas untuk memberantas korupsi, janji-janji yang muluk dan ambisius sehingga menimbulkan harapan yang tidak realistis dan hilangnya kepercayaan publik, upaya-upaya perubahan sepotong-sepotong dan tidak terkoordinasikan sehingga tidak ada pemilik upaya-upaya itu dan tidak ada yang mau bertanggungjawab untuk memastikan bahwa upaya-upaya itu benar-benar dilakukan dan terus ditingkatkan, upaya-upaya perubahan yang terlalu mengandalkan diri pada hukum atau upaya penegakan hukum, upaya-upaya perubahan yang mengabaikan korupsi di tingkat atas dan hanya memusatkan diri pada korupsi kelas teri, kegagalan membentuk mekanisme kelembagaan yang tetap dapat bekerja baik setelah para pembaharu anti korupsi sudah tidak ada lagi, serta kegagalan pemerintah melibatkan masyarakat sipil dan sektor swasta ke dalam proses formal.