BANYUWANGI, Detikkasus.com – Minggu 02/07/2017, Misriah menunjukan tiga Tapekong milik almarhum suaminya.
RUMAH milik almarhum Sanusi di tengah Lingkungan Krajan, Kelurahan Boyolangu tampak sepi kala Jejakkasus/Radarbangsa Banyuwangi berkunjung siang itu. Padahal, hari tersebut masih terhitung hari Lebaran, karena tradisi Puter Kayun masih akan diselenggarakan beberapa hari lagi.
Tak lama, Misriah, 60, istri almarhum Sanusi keluar dari belakang rumah. Rupanya ibu tua itu usai berkunjung ke beberapa rumah tetangga yang kebetulan kedatangan sanak familinya. Kami pun langsung menanyakan keberadaan Tapekong, atau orang orangan menyerupai boneka raksasa ondel-ondel yang selama ini menjadi kebanggaan almarhum Sanusi.
Sambil sedikit tertunduk, Misriah mengatakan jika ketiga Tapekong itu disimpan disebelah barat rumahnya. Dia pun mengajak kami untuk melihat kondisi tiga Tapekong milik almarhum Sanusi.
Pintu ruangan yang digunakan untuk menyimpan Tapekong itu tampak sudah lama tidak dibuka. Pada bagian depan dipasangi kawat yang malang melintang untuk menjaga agar pintu itu tetap terkunci. Setelah susah payah mengakali, akhirnya kunci itu pun bisa dibuka kembali.
Lalu tampak tiga buah Tapekong yang tertata rapi. Namun kondisinya tampak cukup menyedihkan. Meski telah ditutup plastik, tampak kotoran tikus berserakan dimana-mana. Belum lagi salah satu Tapekong tampak rusak parah dengan bagian lehernya yang terlihat patah, sehingga sekilas seolah menggambarkan Tapekong ini mengalami luka bacok di bagian leher.
“Sejak Mbahe (panggilan Misriah kepada Sanusi) meninggal dunia, tidak ada lagi yang mau merawat Tapekong. Pertama-tama, anak saya yang mau menyanggupi merawat. Tapi ternyata anak saya malah sibuk, jadi lebih baik disimpan saja,” ujar Misriah sambil membenahi posisi ketiga Tapekong itu.
Setelah kembali menutup pintu tempat penyimpanan Tapekong, Misriah mengajak kami kembali masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalanmya sudah ada adik kandung Misriah yaitu Kusnan, 52.
Pria ini disebut oleh Misriah menjadi salah satu personel yang selalu dibawa almarhum suaminya jika ada tanggapan Tapekong. Usai memperkenalkan diri, Kusnan pun mulai bercerita mengenai riwayat Tapekong milik kakak iparnya.
Sambil menyuguhkan emping melinjo yang disuguhkan bersama kue Lebaran, Kusnan menceritakan bahwa Tapekong mulai ada di wilayah Kelurahan Boyolangu sekitar 25 tahun lalu. Saat itu, kakak iparnya, Sanusi, memang sangat menyukai dunia seni melakukan patrol bersama warga di saat Bulan Ramadan.
Biasanya patrol saat itu sering ditambahi dengan keberadaan barong agar lebih meriah. Namun Sanusi yang saat itu melihat jika barong terlalu ribet, akhirnya berinisiatif membuat sebuah Tapekong. Yang pertama yaitu Tapekong perempuan yang menggunakan pakaian khas Jawa.
”Setelah membuat satu Tapekong itu, ternyata banyak yang suka. Waktu itu, Tapekong diiringi dengan tabuban musik kuntulan, jadi terasa ramai. Saya kadang ikut menabuh, kadang ikut jadi Tapekong. Banyak orang suka pokoknya,” kenang Kusnan.
Melihat animo yang tinggi dari para warga Boyolangu, Sanusi kemudian membuat lagi satu buah Tapekong dengan model laki-laki. Jadilah sepasang Tapekong itu yang selalu di arak jika pada kegiatan.
Mulai dari patrol Ramadan, hingga pawai tradisi Puter Kayun, serta berbagai acara hajatan warga seperti khitanan. Bahkan saking tersohornya Tapekong, sampai-sampai tiap minggu selalu ada undangan untuk ikut meramaikan kegiatan saat itu.
Tak hanya di wilayah Kelurahan Boyolangu, Tapekong sempat bolak balik diundang hingga wilayah Kecamatan Muncar dan Kecamatan Purwoharjo yang berjarak 35 Kilometer dari Boyolangu. “Dulu Kng Sanusi tidak berniat membuat Tapekong jadi hiburan sampai diundang ke mana-mana. Sampai ada Pak Haji di Boyolangu yang mau menanggap.
Setelah itu, kok semakin ramai diundang. Paling dekanya tanggapan di Boyolangu sampai Desa Kemiren. Paling jauh waktu zaman Bu Rama itu di Purwoharjo sana, kenang Kusnan. Tapekong sendiri, kata Kusman, tidak memiliki mitos mistis apa pun.
Sehingga ketika akan digunakan atau diundang tidak perlu ada ritual khusus. Bahannya pun hanya terbuat dari rotan yang dirangkai menjadi kerangka kemudian ditutup kertas. Diluarnya, barulah dibentuk menyerupai wajah manusia.
“Tapi saya lupa tahun berapa itu, Kang Sanusi menambahi satu Tapekong lagi. Yang laki-laki dengan pakaian Madura, katanya biar yang menonton senang. Karena di Banyuwangi juga banyak orang Madura. Yang memainkan kadang saya, Supri, Kang Muhammad, atau Osok,” jelas pria yang bekerja sebagai buruh serabutan itu.
“Sayangnya, ketika Sanusi meninggal dunia pada awal Tahun 2017 lalu, Tapekong itu tak lagi dirawat. Tapekong itu langsung dimasukkan ke dalam ruangan dibarat rumah Sanusi dan jarang sekali dibuka.
Pernah ada orang yang menawar untuk membeli Tapekong itu saat Sanusi masih hidup, namun sudah mulai sakit. Tetapi karena Sanusi sudah terlanjur senang dengan Tapekong, dia tidak mengizinkan ondel-ondel itu dibawa.
Istri Sanusi, Misriah yang dari awal ikut mendengarkan perbincangan saya dengan Kusnan ikut menceritakan, bahwa dulu ketiga Tapekong itu diletakkan didalam rumah. Seolah ketiganya adalah bagian dari keluarga besarnya.
Setiap hari, kata Misriah, almarhum suaminya selalu membersihkan Tapekong itu. Baik saat ada tanggapan atau tidak. Bahkan tapekong itu sempat dibuatkan pakaian adat Gandrung untuk dipakaikan jika ada undangan khusus terutama seperti saat acara tradisi puter kayun yang dihelat setiap tanggal 10 Syawal.
Misriah pun menunjukkan Omprog (mahkota) besar dan Sampul (selendang penari gandrung) milik Tapekong yang masih tersimpan di lemarinya. Bahkan kini, ketiga Tapekong itu terpaksa dimuseumkan karena tidak ada lagi yang mau menjalankannya.
Bahkan ketika kondisi salah satu Tapekong mengalami kerusakan, Misriah tidak bisa mengambil langkah untuk membetulkannya. “Kalau mbahnya masih ada umur, ketiganya itu pasti dirawat. Sekarang Mbah sudah tidak ada, Tapekongnya juga tidak tampil lagi,” kata Misriah sambil menerawang langit-.langit rumahnya. ( TED ).