Artikel l Detikkasus.com – Membahas tentang perempuan memang tidak ada habisnya, selalu saja ada perdebatan-perdebatan antara kaum patriarki dan perepuan.
Padahal bisa kita lihat sekarang bahwasanya kaum perempuan sudah banyak yang menduduki kursi kursi di ranah parlemen.
Akan tetepi ada banyak permasalahan-permasalahan yang selalu di keluhkan oleh kaum perempuan.
Ada apa sebenarnya?.
Kalau ditarik ke belakang di waktu zaman pemerintahan Soekarno, yaitu Bapak Presiden yang pertama, kaum perempuan sebenarnya sudah memiliki kebebasan, kebebasan berpendapat, kebebasan bersuara, dan kebebasan-kebesan yang lainnya.
Perempuan sudah mendapatkan kebebasan itu, tapi tidak dengan pemikiran-pemikiran patriarki yang selalu mendominan.
Kita sebagai orang yang sadar akan kesetaraan seharusnya mampu menjelaskan terhadap masyarakat bahwasanya kesetaraan itu perlu.
Gerakan yang memperjuangkan hak-hak perempuan di masayarakat terkait isu-isu, perempuan hanya dipandang sebelah mata, perempuan juga selalu di nomor duakan, ada apa sebenarnya.
Jika mayoritas penduduk Indonesia itu mayoritas muslim maka kebanyakan orang menganggap bahwa perempuan itu hanyalah makmum sedangkan lali-laki adalah imam.
Itu yang ada di pemikiran masyarakat yang sekarang, mereka terbelengggu dalam kata-kata tersebut. Pahal konsep kesetaraan itu bukan di pandang dari segi fisik melainkan dari segi kedudukan.
Partisipasi perempuan dalam dunia polik bisa dikatan masih sangat kurang, sehingga sehingga pemerintah mengatur partisipasi perempuan dalam ranah politik, dalam UU No. 22 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu mengatur agar penyelenggaraan pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30%.
Pada pasal 6 ayat (5) UU tersebut menyatakan bahwasanya “komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratur”. Pemerintah mengatur dalam UU tersebut untuk memberikan ruang terhadap kaum perempuan agar bisa bergerak di dunia politik.
Akan tetapi apakah kaum perempuan sadar dengan ruang yang di sediakan pemerintah untuk mengisi keterwakilan kuota 30% tersebut?.
Tentu saja tidak. Banyak orang yang mempertanyakan apakah sudah terpenuhi kuota 30% partisipasi perempuan. Dari data 2014-2019, partisipasi perempuan jadi anggota DPR terbanyak berasal dari partai PDIP berjumlah 21 orang sedangkan partisipasi laki-laki di partai PDIP berjumlah 88 orang.
Sudah jelas partisipasi perempuan dalam parlemin masih tergolong rendah dan belum mencapai target yang telah di tentukan.
Padahal UU No. 2 tahun 2008 mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Jadi sudah jelas kuota 30% ini hanya sebagai bingkaian dan belum di terapkan secara penuh.
Dalam hal ini sebenarnya yang bermasalah UUnya atau perempuan sendiri yang tidak mau berpartisipasi dalam ranah politik.
Negara membuat UU tersebut sebenarnya untuk mengatur hal-hal yang harus di benahi.
Perempuan sudah mempunyai ruang untuk masuk kedalam ranah politik untuk bisa mengubah pola pikir yang ada pada masyarakat.
Dan bukan hanya mengubah pola pikir melainkan bukti nyata bagi kaum perempuan bahwasanya perempuan juga mampu berkecimpung di dunia politik.
Hingga perempuan tidak lagi di pandang sebelah mata atau di nomor duakan, untuk mencapai titik yang di inginkan kaum perempuan, yaitu kesetaraan gender.
Laki-laki tidak sepenuhnya memahami hak-hak perempuan, maka perlunya kuntribusi dari perempuan untuk masuk kedalam kancah politik.
Jika sudah terpenuhi kuota 30% tersebut maka bisa saja pemerintah mengubah UU terkait 30% partisipasi perempuan tersebut.
Pernahkah terfikirkan dari kaum feminisme untuk mengubah kota ini menjadi 35% atau hingga mencapai 50%. Karena yang ada dalam UU itu mengatur sekurang-kurangnya 30%, berarti bisa melebihi kuota tersebut.
Kurangnya partisipasi perempuan di ranah polik di sebabkan berbagai factor salah satunya faktor psikologi, ekonomi, sosial dan budaya.
Yang paling urgent yaitu buda patriarki yang masih melekat di kalangan masyarakat. Sehingga ketika kesetaran gender itu di pandang dari segi fisik memang perempuan lebih lemah dari pada laki-laki, akan tetapi gender tersebut tidak memandang dari segi fisik melainkan dari segi kedudukannya.
Kedudukan perempuan di parlemen sangat di butuhkan agar keinginan kesetaraan perempuan ada yang menyuarakan.
Dengan adanya perempuan di jajaran parlemen akan menunjang hak-hak perempuan terpenuhi dan akan menjadi bukti nyata di pandangan masyarakat.
Hal yang perlu dilakukan perempuan saat ini harus mengisi kuota 30% keterwakilan perempuan tersebut, yang awalnya 30% itu bisa meningkat beberapa persen.
Jika 30% ini masih belum terpenuhi maka kuota tersebut tidak akan pernah berubah.
Semua hak dan kewajiban yang ada di laki-laki juga ada pada perempuan, persamaan hak-hak itu merupakan bentuk penghargaan bagi perempuan.
Dan negarapun menjamin hak dan kewajiban bagi kaum perempuan.
Untuk itu perempuan mempuanyai ruang dan kesempatan dalam mengisi kursi-kursi yang ada di parlemen.
Kebijakan yang tepat dalam meningkatkan partisipasi politik bagi kaum perempuan akan mampu meningkatkan peran perempuan dalam berpolitik.
Banyaknya pendapat bahwasannya keterlibatan perempuan di parlemen sangat penting menjadikan motivasi untuk kaum perempuan lebih memantapkan semangat untuk kesetaraan gender.
Upaya yang perlu dilakukan perempuan harus melaui dari pendidikan dan menjelaskan pada keluarga, bahwa berkiprah di dunia politik merupakan salah satu bagian dari membangun masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan politik yang dalam lingkungan non formal ini juga harus di terapkan, seperti keterlibatan keluarga untuk mendorong keluarganya supaya mau diajak berbicara politik.
Dan anak perempuan yang mengikuti pendiddikan politik dasar sejak sekolah menengah samapai tingkat universitas, didorong untuk mengikuti berabagai organisasi sehingga banyak pengetahuan terkait kesetaraan gender.
Selain itu juga bisa melakukan advokasi terhadap kaum perempuan supaya perempuan terpanggil untuk berpartisipasi dalam kancah politik.
Mempersiapkan anak-anak perempuan sejak dini agar terpanggil dan tertantang memasuki dunia politik melalui kurikulum pendidikan yang berbasis pengenalan politik sejak usia dini.
Memberikan pencerahan, dan dorongan terhadap perempuan supaya aktif dalam kegiatan politik seperti berpartisipasi dalam kampanye, menjadi calon legislatif, calon gubenur, calon gubernur dan lainnya. Upaya-upaya inilah yang bisa dilakukan perempuan untuk meningkatkan kuota 30% keterwakilan perempuan dalam menduduki kursi-kursi parlemin.
Kaum perempuan sebenarnya mempunya peluang besar dan kesempatan untuk berkiprah di dalam dunia politik.
Kiprah dan partisipasi perempuan inilah yang di harapkan agar dapat memberikan rasa adil dalam memperhatikan kebutuhan dan hak-hak kaum perempuan.
Peluang perempuan dalam era reformasi ini terbuka lebar, tidak hanya berpartisipasi dalam politik saja namun dapat menjadi elit politik.
Tidak hanya berpartisipasi dalam pemilihan umum akan tetapi juga dapat menjadi pemain dalam keikutsertaannya di pemerintahan.
Terbukanya harapan dan peluang bagi perempuan untuk ikut memajukan kecerdasan bangsa dan ikut membagun Indonesia. sudah sepantasnya kaum perempuan mendapatkan apa yang di inginkan yaitu kesetaraan gender, mengingat perempuan di Indonesia sebanding dengan jumlah laki-laki. (*)