Oleh: Muhammad Tsani dari Ponorogo. Saya mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang.
Alamat : Ds. sidoharjo, Kec. Pulung, Ponorogo
No.HP : 085232444005
Wassalamualaiku wr.wb
Detikkasus.com | Sejak tahun 2017, penerimaan peserta didik baru jenjang SMP dan SMA di Indonesia mengalami perubahan sistem dari seleksi menggunakan nilai ujian menjadi sistem zonasi atau jarak terdekat antara rumah dan sekolah. Sistem ini diterapkan dengan tujuan untuk menghapuskan deskriminasi sekolah yang biasanya terbagi menjadi kasta sekolah favorit dan sekolah biasa saja dan dengan diterapkannya sistem ini diharapkan pula pendidikan bisa merata dan tidak terfokus pada satu sekolah saja.
Siswa SMP maupun SMA sudah tidak asing lagi dengan yang namnya sekolah ke-2 atau bimbingan belajar. Demi mendapatkan prestasi yang bagus, tak jarang wali murid rela menggelontorkan dana yang realatif banyak untuk biaya anak mereka mengikuti bimbingan belajar. Tapi dengan adanya sistem zonasi ini, usaha siswa yang dengan giat belajar serta mengikuti bimbingan belajar itu seakan sia-sia. Memang, belajar tidak ada yang sia-sia, namun jika dilihat dari realita yang ada, meskipun nilai tinggi tetapi jarak rumah dan sekolah jauh, maka kecil harapan untuk dapat bersekolah di sekolah idaman. Itulah yang disebut dengan sistem zonasi, dimana jarak lebih penting daripada prestasi.
Pada awal penerapan sistem zonasi ini, tidak ada masalah serius yang dihadapi oleh siswa, wali murid, maupun pihak sekolah selaku penyelenggara PPDB. Namun, semakin tahun semakin sistem ini terasa begitu tidak adil terutama bagi siswa dan juga wali murid. Bagaimana tidak, siswa yang jarak sekolahnya hanya beberapa ratus meter dari sekolah idaman langsung dapat diterima di seolah tersebut walaupun nilainya pas-pasan atau jelek. Sedangkan siswa dengan nilai dan prestasi yang baik tidak dapat diterima di sekolah tersebut karena kendala jarak rumah dengan sekolah yang dituju terlalu jauh. Hal ini menyebabkan banyak sekali protes yang dicurahkan oleh wali murid karena merasa anaknya layak untuk bersekolah di sekolah tujuan, namun alasan sekolah menolaknya hanya karena jarak rumah siswa tersebut dan sekolah terlalu jauh. Tak cukup sampai disitu, siswa pemenang olimpiade yang sudah mengoleksi banyak piala dan piagam penghargaan-pun tidak dapat bersekolah di sekolah impiannya dengan alasan jarak rumahnya terlalu jauh dengan sekolah. Sangat jelas ketidak-adilan sistem zonasi begitu nampak disini. Bahkan pada tanggal 19 Juni 2019 lalu, PPDB SMA sempat ditutup karena banyaknya walimurid yang memprotes sistem zonasi yang mereka anggap merugikan siswa. Siswa yang rajin belajar kalah dengan siswa yang malas-malasan namun jarak sekolah dan rumahnya dekat. Memang tidak semua siswa yang memiliki rumah dekat dengan sekolah malas belajar, namun ada beberapa yang seperti itu dan akhirnya menggeser peringkat anak yang pintar namun jarak sekolah dan rumahnya jauh. Banyak sekali kerugian yag ditimbulkan dari penerapan sistem zonasi ini. Ditakutkan juga dapat mengganggu psikis siswa yang tidak diterima di sekolah idaman mereka.
Ada baiknya apabila pemerintah melakukan evaluasi mengenai sistem penerimaan peserta didik baru ini. Memang tujuannya sangat bagus yaitu menghapuskan kasta sekolah favorit agar pendidikan merata dan tidak terpusat pada satu titik tertentu saja. Akan tetapi sisitem ini harus dibuat lebih adil. Misalnya dengan mempertimbangkan nila rapor atau nilai ujian dan tidak hanya menimbang berdasarkan jarak karena itu akan sangat merugikan. Jika dipikir-pikir kembali, yang rugi bukan hanya siswa dan wali murid, tapi sekolah juga akan merugi jika hanya memperhatikan jarak tempuh siswa ke sekolah. Mengapa demikian? Pada sistem penerimaan peserta didik yang lama, mereka melihat nilai ujian yang sudah siswa tempuh selama beberapa hari. Lalu bila siswa memiliki prestasi, apalagi prestasi tingkat nasional, maka prestasi itu akan mengantongi poin yang banyak seperti nilai ujian yang tinggi. Artinya apa, ada prioritas yang diutamakan yang mana prioritas itu fair dan tidak merugikan pihak lain. Sistem yang lama yang sudah berjalan bertahun-tahun tidak menuai banyak protes karena sistem tersebut adil. Ada baiknya jika pemerintah juga memikirkan psikis siswa yang ditolak hanya karena jarak.