Peserta Pilpres Harus Siap Kalah

Oleh : Arifudin
Direktur Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Pancasila

Detikkasus.com | Mungkin dari tema di atas banyak yang bertanya mengapa penulis hanya pengambil tema tentang peserta pilpres harus siap kalah, “tidak” menambahkan kalimat siap menang?

Dr. Silvia Rimm, mengatakan, salah satu yang tersulit dalam dalam hidup manusia adalah menerima kekalahan, sedangakan hampir dipastikan semua orang siap ketika menghadapi kemenangan.

Sementara itu Malkoc, salah satu peneliti psykologis berkaliber dunia dalam penelitianya yang diterbitkan secara daring dalam Journal ofBehavioral Decision Making. Tahun 2017 lalu, menjelaskan respons emosional terhadap kegagalan atau kekalahan memang menyakitkan. Rasanya sangat tidak nyaman. Itu mengapa orang sering kali memenuhi otak dengan pikiran-pikiran yang sifatnya protektif setelah membuat kesalahan.

Sedangkan kemenangan bagi siapa pun yang bersaing dalam sebuah kompetisi politik pasti menginginkan kemenangan. Itu bukan hanya berlaku bagi paslon dan tim suksesnya, melainkan juga bagi para pendukung. Bagi para sukarelawan, sebagian besar dari mereka bergerak atas dasar hati nurani dan keyakinan calon yang mereka usung memberikan perubahan dan kebaikan bagi masyarakat.

Baca Juga:  SEPUTAR DEMAK - JATENG | SOSIALISASI PENERTIBAN BANGUNAN LIAR DI TRENGGULI

Dalam sebuah kontestasi politik, dukungan kelompok atau sukarelawan memberikan dampak sangat penting bagi paslon. Mereka tidak hanya menjadi penyemangat layaknya suporter sepak bola, tetapi juga dapat menjadi penentu kemenangan. Gerakan mereka yang bersifat sukarela dan didasarkan keyakinan terhadap calon yang di usung, mendorong mereka bekerja layaknya bola salju, yang ketika di atas masih kecil kemudian meluncur ke bawah bentuknya semakin besar.

Kemenangan bagi calon Pilpres, tim sukses, dan kelompok sukarelawan perlu diraih dengan kerja keras dan usaha yang optimal. Akan tetapi, indikator itu tidak boleh dilepaskan dari strategi politik yang bijak, kemenangan harus diraih dengan cara yang baik.

Hal yang perlu dicamkan ialah kemenangan yang diraih dalam persaingan politik ialah untuk kebaikan semua masyarakat, sebagaimana politik menurut Aristoteles ialah for the goodness of society. Melakukan cara-cara yang baik dalam memperoleh kemenangan dapat membuat pengorbanan politik menjadi sangat berharga sebab menang atau kalah, banyak pihak akan tetap memberikan apresiasi positif atas upaya bersama menjalankan prinsip fair play.

Baca Juga:  Bhabinkamtibmas Pakisan Melaksanakan Tatap Muka dengan Ibu - Ibu dan Sampaikan Pesan Kamtibmas Jelang Pileg dan Pilpres 2019

Akan tetapi, sebaliknya sebuah kemenangan akan menjadi tidak bermakna jika dilakukan melalui cara-cara tidak baik, seperti black campaign atau fitnah politik, serta menyinggung soal agama pihak lain yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Meski pada umumnya persaingan pilkada selalu panas hingga pada saat pemilihan, bukan berarti hal itu akan berhenti ketika sudah ada pemenang.

Apabila panasnya persaingan politik hanya terkait dengan program kerja dan perolehan suara, persoalan itu dapat berhenti hingga pada saat keluar pemenang

Maka dari itu, jika dihubungkan dengan konstelasi Pemilihan Umum (Pemilu) maka dipastikann ada calon legislative atau Capres/Cawapres yang gagal terpilih, untuk itu para peserta pemilu sejak awal harus siap kalah, dengan demikian tidak akan menjadi beban psykologis berkepanjangan.

Baca Juga:  Sambut HUT TNI Ke-74, Danrem Pimpin Ziarah di TMP Madiun

Memang mayoritas penduduk negeri kita sudah cukup mapan dalam berdemokrasi dengan pengalaman belasan kali Pemilu sejak merdeka 1945, namun Kontenstan dan pendukung tiada hentinya diajarkan tentang sikap dan kesiapan mental untuk menerima status KALAH atau MENANG pada Pemilu atau Pilkada.

Sebab bukti demokrasi itu sudah tumbuh secara sehat di Indonesiai ini, salah satunya adalah jika kedewasaan semua steakholder dalam menyikapi semua kondisi yang terjadi, termasuk jika suatu saat tertempatkan dalam kondisi berada pada pihak yang kalah, pendukung yang kalah, atau keluarga yang kalah, atau kelompok yang kalah, dalam sebuah hajatan demokrasi seperti pemilu atau pemilukada, bahkan pilkades sekalipun.

Dimana, pihak yang kalah tetap membangun nuasa humanis, menghargai hasil, bahkan andaipun kecewa namun tetap menggunakan saluran formal seperti dalam bingkai regulasi yang benar. Contohnya, dengan bukti yang ada melakukan gugatan ke MK atau pengadilan, bukan berbuat rusuh atau melakukan demontrasi yang merusak asset.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *