Indonesia Pilu?

Oleh : Rika Ayu Purnama Sari
Universitas Muhammadiyah Malang
FISIP Prodi Ilmu Pemerintahan.

Detikkasus.com | INDONESIA bukannya gembira tetapi malah memilu. Masalahnya sudah diputuskan siapa yang akan menjadi pemimpin pada satu periode kedepan. Pasca terlaksananya Pemilu 2019 pada 17 April lalu, masyarakat Indonesia disajikan berbagai macam menu provokatif dari kedua kubu yang saling menolak hasil perhitungan. Media sosial penuh berisikan konten-konten yang memicu subuah perpecahan. Mulai dari provokasi masyarakat untuk mengadili salah satu pasangan capres-cawapres karena bertindak curang, adanya people power, penolakan hasil perhitungan yang dilakukan oleh KPU, dan masih banyak lagi drama yang tercipta pada Pemilu 2019 kali ini.
Bukankah seharusnya Pemilu merupakan perwujudan dari sebuah Demokrasi yang baik?. Entah, apa yang merasuki Indonesia kali ini hingga keanekaragaman yang tercipta selama ini bisa dihancurkan oleh sebuah perbedaan pilihan dan pendapat mengenai siapa yang akan memimpin. Pemilu kali ini bisa dibilang pemilu paling mematikan yang ada disejarah Indonesia. Dimana banyak pertumpahan darah yang dialami pendukung paslon capres masing-masing, juga banyak petugas yang meregang nyawa dalam perhitungan suara. Kesadaran sejarah harusnya menjadi suatu hal penting agar pada era saat ini kita dapat menghargai jasa pahlawan kita dalam memperjuangkan kemerdekaan persatuan Bangsa Indonesia.
Demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang sumbang. Ya bisa dikatakan demikian. Alasannya adalah ada penyalah gunaan atau salah artian dalam mengartikan ‘people power’. Biasanya ‘People Power’ ini terjadi karena sebuah upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan suatu perubahan terhalang dengan adanya kekuatan rezim, menggunakan kekuatan militer ataupun kekuatan lembaga-lembaga konstitusional dan admnistratif yang direkayasa sebegitu rupa untuk memperpanjang kekuasaan. Seperti halnya kasus people power yang terjadi di Philipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos. Di sejarah Indonesia sediri juga pernah terjadi kasus people power pada tahun 1966/1967 untuk mendesak runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno, juga pada tahun 1998 people power mendesak Presiden Soeharto untuk segera lengser.
Kasus people power yang dialami Indonesia saat ini lebih condong disebabkan karena adanya sebagian masyarakat tidak terima dengan hasil perhitungan suara. Muncul anggapan bahwa di Pemilu khususnya Pilpres, terjadi dengan cara curang. Kecurangan ini dianggap telah terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Kecurangan ini juga dianggap telah melibatkan berbagai belah pihak seperti aparat negara dan penyelenggara Pemilu agar Calon Presiden Incumbent dapat unggul dan memenangkan Pemilu.
Aksi 22 Mei diwarnai dengan berbagai kericuhan. People power ini dilakukan oleh pendukung paslon dua yang tidak menerima hasil perhitungan dari KPU. Memang negara demokrasi memberikan sebuah kebebasan untuk menyampaikan pendapat. Artinya unjuk rasa atau demo boleh dilakukan sebagai perwujudan dari demokrasi juga. Akan tetapi perlu kita garis bawahi bahwa dalam aksi unjuk rasa tetap terdapat aturan-aturan yang harus dipatuhi. Segerombolan masyarakat datang berbondong-bondong menyuarakan pendapat ataupun penolakan mereka terhadap pemerintah dengan maksud dan tujuan agar mendapat perhatian lebih atau reaksi yang lebih cepat dari pemerintah. Tidak selamanya unjuk rasa merupakan suatu hal yang negatif jika para pengunjuk rasa menyikapinya dengan positif. Unjuk rasa yang baru saja dilakukan dan dinamai aksi People Power ini telah menyebarkan sebuah ketakutan dalam masyarakat. Tidak hanya di tempat terjadinya unjuk rasa, tetapi di berbagai belahan Indonesia merasakan ketakutan yang sama. Banyak sekali kerugian yang terjadi misalnya rusaknya banyak fasilitas, banyak pengunjuk rasa yang meregang nyawa dan lain sebagainya.
Sudahlah mari kita sudahi pertentangan ini. Kita taruh segala ego kita, kita satukan lagi tekad kita. Ingatlah! Perbedaan bukan berarti perpecahan. Perbedaanlah yang membentuk keberagaman kita. Resapi “Bhineka Tuggal Ika” kita semboyan bangsa tercinta ini. Lapangkan dada untuk menerima persaingan, karena didalam persaingan pasti ada yang menang dan kalah. Mari berdamai.

Baca Juga:  Rutin Jaga Ketat PPI Pawas Tingkatkan Pengecekan dan Pengawasan Terhadap Dermaga Pelabuhan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *