Sinjai – Sulawesi Selatan | Detikkasus.com-, Hari ini 31 Agustus 2018, KOPEL Indonesia bersama sejumlah organisasi yg tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mendatangi Bawaslu RI menyoal putusan beberapa Bawaslu daerah yang meloloskan Caleg mantan napi KORUPTOR.
Menyikapi kondisi tersebut, Koalisi menyerahkan surat terbuka dan petisi penolakan Caleg mantan napi KORUPTOR yg telah dihimpun oleh koalisi dari seluruh indonesia. Berikut surat terbuka untuk Bawaslu RI:
Komisioner Bawaslu RI yang kami hormati,
Telah terlampau panjang perdebatan mengenai larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif pemilu 2019. Perdebatan tersebut seharusnya selesai pada saat Menkumham telah mengundangkan Peraturan KPU No. 14 dan 20 tentang Pencalonan Calon Anggota Legislatif yang dicantumkan dalam lembaran berita negara No. 834 sehingga PKPU menjadi sah dan berlaku mengikat.
Sikap Bawaslu yang mengabulkan permohonan sengketa pencalonan mantan napi korupsi yang dinyatakan tidak memenuhi syarat oleh KPU tidak hanya melukai impian kami mempunyai legislatif yang lebih bersih tetapi juga membuat kami bertanya-tanya. Ada apa dengan Bawaslu?
Kami memaknai perdebatan panjang pada saat perumusan Peraturan KPU sebagai perdebatan kritis yang sudah sepatutnya melatarbelakangi perumusan peraturan. Namun ketika Peraturan KPU telah sah dan diundangkan, tidak seharusnya dan tidak sepatutnya Bawaslu mengabaikan Peraturan KPU dalam memutus sengketa pencalonan pemilu.
Pasal 76 ayat 1 UU Pemilu telah mengatur bahwa dalam hal Peraturan KPU diduga bertentangan dengan UU pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA). Ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Artinya, Bawaslu seharusnya tidak potong kompas dan menarik simpulan sendiri dikarenakan koreksi atas Peraturan KPU bukan ranah dan wewenang Bawaslu. Sedangkan hingga saat ini, belum ada putusan MA yang menyebutkan Peraturan KPU bertentangan dengan UU.
Putusan pengawas pemilu di enam daerah, yaitu Aceh, Toraja Utara, Sulawesi Utara, Pare-Pare, Rembang, dan Bulukumba, terhadap gugatan sengketa pencalonan mantan napi korupsi secara terang benderang tidak menjadikan Peraturan KPU tentang Pencalonan sebagai rujukan. Padahal, Peraturan KPU sebagaimana diatur dalam pasal 8 ayat 2 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Bawaslu justru diamanatkan mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU, sebagaimana disebut dalam pasal 93 huruf l UU Pemilu. Bawaslu sebagai tulang punggung pengawasan pemilu seharusnya memastikan bahwa tidak ada mantan narapidana kasus korupsi, kejahatan seksual terhadap anak, dan bandar narkoba yang diloloskan sebagai calon anggota legislatif oleh KPU.
Pun demikian, masih besar harapan kami untuk Bawaslu RI segera menjalankan kewenangannya meluruskan kekeliruan dengan mengoreksi dan memberikan rekomendasi putusan Bawaslu daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 95 huruf h UU Pemilu.
Harapan dan tuntutan kami ini tidak hanya berangkat dari semangat untuk memiliki legislatif yang lebih baik dan bersih, tetapi juga demi adanya kepastian hukum dalam pencalonan anggota legislatif pemilu 2019. Kami yakin, Bawaslu RI mempunyai semangat yang sama dan memahami bahwa Peraturan KPU tentang Pencalonan masih sah dan berlaku, sepanjang tidak dikoreksi oleh MA.
Sebagai penutup, kami ucapkan terima kasih. Mari “Bersama Rakyat Awasi Pemilu!” dan jangan menjadi pembela koruptor.
Hormat Kami,
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih
ICW | Kode Inisiatif | Perludem | NETGRIT | Pemuda Muhammadiyah | Banten Bersih | Madrasah Antikorupsi | ANSIPOL | PSHK | KOPEL
Catatan:
Lebih dari 235.000 orang menandatangani petisi change.org/koruptorkoknyaleg sebagai dukungan terhadap larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg.(Akmal)